Jin Yang Menempel

1.1K 140 3
                                    

"Pak saya anterin ibu dulu," pamitku, lalu menyusul ibu. Auranya sungguh berbeda. Wajahnya tampak marah dan tatapan matanya begitu tajam.

"Kamu tau nama lengkap guru tadi, gak? Sama tanggal lahirnya?" tanya Ibu.

"Jangan pake cara begituan, gak baek. Lagian anaknya cuman dikirim ke pesantren, bukan ke Nusa Kambangan."

Ibu menghentikan langkah tepat di luar gedung. "Tetep aja itu bahaya buat kamu, Ai."

"Bahaya buat aku apa buat ibu?" Dari dulu ibu yang melarangku untuk menjalankan ibadah.

"Kamu gak bakal ngerti, Ai!"

"Ya, jelasin dong. Biar anaknya ngerti."

"Ibu gak bisa jelasin di sini. Nanti aja di rumah. Sekarang kamu masuk ke kelas aja."

"Oke."

Ibu melangkah dengan terburu-buru menuju gerbang. Aku pun kembali ke kelas. "Nyokap lu mau ngapain ke sini, Dan?" tanya Bimo.

"Dia protes masalah pesantren kilat," balasku, seraya duduk.

"Protesnya berhasil, gak?" Wajah Bimo terlihat bersemangat.

"Kagak." Aku langsung mematahkan semangatnya.

Bimo cemberut, "Yahhh! Nyokap lu kagak pake jimat atau mantra gitu buat ngubah keputusan Pak Dimas."

"Gak mungkinlah nyokap gua pake begituan di sekolah." Aku bakal jadi orang pertama yang mencegahnya.

"Ya, siapa tau. Bisa jadi headline berita. Demi sang anak tidak jadi berangkat ke pesantren. Sang ibunda rela menjampi-jampi gurunya."

"Lebay banget."

"Lah, nyokap lu juga lebay, Dan. Ampe datang ke sini segala. Kalau nyokap gua malah seneng denger gua bakal pesantren kilat seminggu."

"Lu tau sendiri kalau urusan agama dia emang ribet."

Ibu memang sering melarangku ibadah, tapi baru kali ini ia menyebut kata bahaya. Apa bahayanya pergi ke pesantren? Apa ibu takut aku akan tobat dan mulai menjalankan syariat agama? Sehingga bisa menghambat usahanya sebagai dukun. Apa mungkin kejadian di masjid kemarin akan terulang dan bisa mengancam nyawaku. Entahlah! Aku jadi sangat pensaran dengan alasannya.

_________

Sepulang sekolah, aku memilih untuk langsung pulang ke rumah, tidak nongkrong dulu di markas. "Bu!" panggilku seraya masuk rumah.

"Ya!" Ibu menyaut dari arah dapur. Bergegas aku menghampirinya yang sedang masak.

"Aku udah sengaja gak nongkrong, pengen tau kenapa bisa bahaya kalau aku pergi ke pesantren," ucapku sembari mengambil gelas dan menuangkan air dingin di kulkas, lalu meminumnya.

"Nanti ibu ceritain," balas ibu sambil memotong-motong sayuran.

"Sekarang aja, Bu." Aku agak memaksa.

"Kamu gak liat ibu lagi masak? Tunggu aja di kamar," omelnya.

"Oke deh!" Aku pergi ke kamar dan mengganti pakaian. Kemudian selonjoran di atas kasur sambil menatap ponsel.

Tak lama, ibu memanggil dari ruang tengah. Bergegas aku menghampirinya. "Makan dulu, nanti ibu baru ceritain alesannya," ucap Ibu.

Aku memandangi menu makanan yang tersedia di meja, "Tumben ibu masak sebanyak ini. Dalam rangka apa ini?" Aku duduk di sofa.

"Gak dalam rangka apa-apa, Ai." Ibu mengambil piring dan menuangkan nasi beberapa centong, lalu menyerahkan padaku.

"Apa ini sogokan biar aku gak berangkat ke pesantren?" tanyaku, curiga.

"Buat apa nyogok kamu. Lagian bikin kamu gagal berangkat ke pesantren gampang banget."

"Hmm, ibu gak bakal ngapa-ngapain aku, kan?" Aku jadi takut dengannya.

"Ibu gak bakal apa-apain kamu. Paling nanti kakinya tiba-tiba lumpuh," balasnya, sambil tersenyum.

Reflek aku menaruh piring di meja. "Ini makanan dikasih jampe-jampe, ya?"

Ibu malah tertawa, "Kamu ini gampang banget digertak. Jagoan kok penakut," ledeknya.

Aku meraih piring, lalu menuangkan beberapa menu makanan. Dalam hati membaca basmalah, sebelum mulai makan. Setelah makan, aku menagih janji ibu untuk menceritakan alasannya.

"Kamu dengerin aja. Gak usah banyak nanya," ucap Ibu.

"Belum juga dikasih tau!" protesku.

"Ibu lagi mikirin kata-katanya." Ibu terdiam sebentar.

"Jangan lama-lama mikirnya. Keburu ngantuk nungguinnya."

"Jadi gini. Orang yang beribadah itu disukai sama Jin muslim," ucap Ibu.

"Bagus dong kalau gitu." Diikuti Jin Muslim jauh lebih baik dari pada diikuti Genderuwo dan kawan-kawan.

"Bagus buat orang-orang yang gak ada hubungannya sama ilmu hitam. Tapi buat kita itu bisa jadi musibah, Ai."

"Kan ibu yang berhubungan sama ilmu hitam, bukan aku." Ibu yang jadi dukun kenapa aku yang harus menanggung akibatnya.

"Kamu selama ini makan dari uang hasil ilmu hitam, Ai. Jadi darah yang ngalir di badan kamu udah bercampur dengan ilmu hitam. Makanya banyak Jin yang nempel di badan kamu," jelas Ibu.

"Banyak yang nempel tapi gak bisa bantu tawuran," selaku, berasa percuma ada banyak Jin yang menempel.

"Mereka cuman jagain dari sesama Jin ilmu hitam atau Jin muslim, Ai. Bukan buat diajak tawuran."

"Lagian masa Jin ilmu hitam ngelawan Jin ilmu hitam." Biasanya yang hitam akan melawan yang putih.

"Kamu tawuran lawannya siapa?" Ibu bertanya.

"Gank anak SMA lain," sahutku.

"Nah! Berarti bisa, kan? Anak bandel lawan anak bandel."

Ucapan ibu ada benarnya juga. Tidak selamanya penjahat harus berhadapan dengan orang baik. Ada kalanya mereka berhadapan dengan sesama penjahat. "Terus solusinya gimana?"

"Kamu jangan beribadah. Apalagi sampe masuk pesantren. Di sana banyak Jin Muslim yang bisa bentrok sama Jin yang ada di badan kamu." Solusi yang sama, tapi apapun yang terjadi aku akan tetap berangkat ke pesantren. Tak mau meninggalkan teman yang lain.

"Yaudah deh. Gimana besok aja!" Aku tak mau berdebat lagi, pasti hasilnya akan sama saja. Lebih baik, rebahan di kamar saja sambil menunggu malam.

"Ai," panggil Ibu saat aku melangkah ke kamar.

Aku menoleh, "Ada apaan lagi?" tanyaku dengan nada ketus.

"Malem ini kamu gak boleh nongkrong dulu."

"Lah kok gitu! Aku gak bakal belajar ngaji kok," protesku.

"Ngedengerin orang ngaji juga gak boleh!"

"Ih, aneh bener." Aku pergi ke kamar dan bertekad akan pergi secara diam-diam.

Setelah azan Isya berkumandang, aku ke luar kamar sambil mengendap-endap. Saat kaki ini melangkah ke ruang tengah, ternyata ada ibu yang sedang duduk di sofa. "Mau ke mana, Ai?" tegurnya.

"Maen," balasku, cengengesan.

"Udah ibu bilang, malam ini kamu jangan nongkrong dulu."

"Bosen, Bu, di kamar mulu!" protesku.

"Malem ini doang, besok kamu boleh nongkrong lagi."

"Besok udah pada berangkat ke pesantren, Bu!"

"Ya, abis dari pesantren bisa nongkrong lagi."

"Argh!" Aku mulai kesal. "Nongkrong gak boleh. Pesantren gak boleh!" Aku berjalan ke kamar dan membanting pintu. BRUG!

Kukunci pintu, lalu berdiri di depan lemari. Menatap tumpukan baju dan celana, lalu mulai memilih pakaian yang akan dibawa besok. Kumasukan pakaian ke dalam tas ransel besar. Kemjdian, menyembunyikan ransel itu di dalam lemar, supaya tak ketahuan. Pokoknya, apa pun yang terjadi aku akan pergi ke pesantren.

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now