Markas SMA 11

1.2K 141 0
                                    

Sepulang sekolah kami nongkrong di markas. Menghabiskan waktu dengan bermain game di ponsel.

"Puasa tanggal berapa sih, Dek?" tanya Bimo.

"Tanggal 23, Bim," sahut Handeka yang sedang fokus menggeser layarnya, mencari video tiktok yang menarik.

"Oh, berarti tiga hari lagi."

"Huuh. Bakal ada kegiatan apa nih gank kita, Dan?" tanya Fahmi.

"Kaya taun kemaren aja lah. Sahur on The Road," sahutku.

"Kan seminggu awal puasa biasanya libur nih. Bisalah bikin acara jalan-jalan ke puncak terus nginep di vila," usul Fikri.

"Gua sih ayo-ayo aja asal semuanya mau," balasku.

"Gas lah!" sahut Bimo.

Aku mengedarkan pandangan, "Ngomong-ngomong si Agus ke mana?" Tadi ia bilang akan menyusul, tapi sampai detik ini belum juga datang.

"Mungkin dia lagi tawuran sendiri," sahut Handeka.

"Ya kagak mungkin, lah. Kan udah sepakat," balas Guntur.

"Semangat si Agus itu menggebu-gebu, Tur."

"Gara-gara lu juga, Dek. Dikatain tukang jaga motor."

"Hahahaha." Handeka dan Reno tertawa.

Tak berselang lama dari obrolan itu, Bimo mendapatkan pesan WhatsApp. Pesan yang berisikan foto Agus yang sedang diikat. Ditambah ada keterangan kalau ia sedang ditahan di markas gank SMA 11 dan Syahril memintaku untuk datang ke sana.

"Gimana ini, Dan?" tanya Bimo.

"Pusing ah." Aku pusing bukan karena permintaan Syahril melainkan karena punggung ini masih susah ditegakan. Tak mau saat datang kesana malah menjadi bahan tertawaan. Bisa hancur wibawaku sebagain pemimpin gank.

"Lagian si Agus ini ada-ada aja. Udah ada kesepakatan, eh malah dilanggar," sahut Reno, sembari mematikan aplikasi game di ponselnya.

"Biar kita-kita aja yang ke sana, Dan. Lu kagak usah ikut," ucap Bimo, seraya bangkit dari duduknya.

"Kagak bisa gitu juga, Bim. Si Syahril gak bakal lepasin Agus." Aku juga tak mau lepas tangan. Bagaimanapun perseteruan ini bermula antara aku dan Syahril.

"Jadi lu mau pergi ke sana dengan kondisi kaya gini?"

"Terpaksa, Bim. Mau gimana lagi." Ya, memang tak ada pilihan lain.

"Kalau ada yang lapor ke sekolah terus lu dikeluarin gimana, Dan?" tanya Handeka.

"Pasrah dah. Semoga aja Pak Dimas ngerti," balasku.

"Gimana kalau kita lapor Pak Dimas aja?" usul Fikri.

"Itu namanya nambah masalah. Mana mungkin Pak Dimas mau bantu," sahut Bimo.

"Atau minta bantuin nyokap lu aja, Dan! Siapa tau ada jimat atau apalah yang bisa bikin mereka tunduk." Fikri kembali mengeluarkan ide yang di luar nalar. Meskipun cukup masuk akal.

"Kagak dulu, Fik, kalau maen jimat-jimatan. Gua masih trauma." Meskipun aku tau ibu memiliki jimat untuk kewibawaan yang harganya fantastis. Namun, aku tak berani menggunakannya. Ingat! Semakin mahal jimatnya maka jin yang ada di dalamnya semakin kuat. Efek kesialannya pun bisa lebih parah dari sekarang.

"Terus gimana dong? Gua kagak mau lu dikeluarin dari sekolah, Dan," ucap Fikri.

"Gua juga gak mau dikeluarin dari sekolah," balasku.

"Gua punya ide!" seru Bimo. Biasanya dalam keadaan terdesak idenya selalu out of the box. Ia meminta kami duduk berdempetan lalu mulai memberitahukan rencananya. Rencana yang sangat unik.

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now