Salat Magrib

1.1K 147 3
                                    

Setelah menempuh hampir dua jam perjalanan, aku tiba di depan Pesantren Nurul Iman. "Oi, Bim! Gua udah nyampe!" Aku menelepon Bimo.

"Lu masuk aja, Dan," balasnya.

"Pak Dimas masih ada?" Aku berharap bisa bertemu dengannya untuk meminta maaf.

"Ada. Lu langsung ke mesjid aja."

"Mesjidnya di mana?" Aku tak mau sampai nyasar di dalam.

"Lu nengok dari gerbang juga langsung keliatan, Dan."

"Oh, oke." Aku melangkah melewati gerbang pesantren. Tak jauh dari tempatku berdiri, terlihat ada masjid yang tidak begitu besar.

Bergegas aku pergi ke masjid. Dari pelataran, bisa melihat ada orang sedang berkumpul di dalam. Kulirik ponsel, sudah menjelang magrib. Tanpa berpikir panjang aku masuk ke dalam. Tubuh ini hanya bisa mematung saat melihat tak ada Bimo dan yang lain. Sial! Aku dikerjai olehnya.

Belasan santri yang sedang melakukan kajian kompak menatapku. "Santri rombongan Pak Dimas, ya?" ucap Ustad yang sedang memberi kajian.

"I-iya, Pak Ustad," balasku, sedikit terbata.

"Salman, anterin kakanya ke dalam." Pak Ustad meminta salah satu santrinya untuk mengantarku.

"Makasih, Pak Ustad. Assalamualaikum," ucapku.

"Walaikumsalam," balas semua yang ada di mushola.

Bimo! Lihat saja, nanti kuberi pelajaran. "Ayo, Kak," ajak Salman.

Aku menatap anak kecil berusia kurang lebih sepuluh tahun yang berjalan di depanku. Ia berjalan begitu cepat. Bergegas aku menyusulnya dan berjalan tepat di sampingnya.

"Di sini banyak santrinya?" tanyaku, sedikit basa-basi.

"Sedikit, Kak," balasnya.

"Kira-kira berapa orang?" Soalnya saat masuk gedung pesantren, tak terlihat ada orang berkeliaran.

"Sekitar 30an orang, Kak. Tapi sebagian udah pulang buat puasa hari pertama di rumah."

Kami memasuki halaman depan gedung yang bertuliskan asrama putra. "Di sini pesantren campur?" tanyaku.

"Campur gimana, Kak?" tanya Salman.

"Maksudnya cewek sama cowok."

"Gak dicampur, Kak. Gedungnya dipisah. Asrama putrinya ada di belakang agak jauh."

"Oh, oke."

Saat akan memasuki gedung, kami berpapasan dengan seorang pengurus asrama, "Ustad Walid, ini ada yang mau jadi santri," ucap Salman.

"Ini yang ketinggalan, ya?" tanya Ustad Walid.

"Iya, Pak Ustad," balasku.

"Ayo, ikut saya." Ustad Walid mengajakku ke dalam gedung. Sementara Salman kembali ke masjid. "Kenapa gak bareng sama yang lainnya?"

"Tadi ada urusan sebentar, Pak Ustad. Eh malah ditinggal," balasku.

Di dekat pintu depan ada sebuah kantin.  Ustad Walid berbelok ke kanan, menyusuri lorong di antara deretan kamar. Setiap lorong terdiri dari enam kamar dan di ujungnya ada kamar mandi.

"Ini lorong pertama. Masing-masing kamar dihuni sama dua orang santri." Ustad Walid menaiki tangga yang tak jauh dari kamar mandi. "Di lantai bawah ada 12 kamar, kalau di lantai atas ada delapan kamar."

Sesampainya di lantai dua, ada lorong pendek yang terdiri dari empat kamar berukuran agak besar. Tepat di bagian tengahnya, ada dua ruangan saling berhadapan. Satu ruangan yang ada proyektornya, satu lagi ada whiteboard.

IBUKU DUKUNWhere stories live. Discover now