Hukuman

1.2K 137 5
                                    

Pak Dimas memperkenalkan diri pada polisi, lalu melangkah mendekatiku. "Aidan! Baru kemaren tanda tangan surat pernyataan, sekarang udah ngelanggar lagi!"

"Kita gak tawuran, Pak," balasku, membela diri.

"Terus muka kamu kenapa babak belur?"

Aku hanya bisa terdiam, bingung mencari alasannya. "Anu, Pak."

"Anu apa? Jawab!" bentaknya sambil bertolak pinggang.

"Tadi saya berantem, Pak," balasku, pasrah. Tak bisa mengelak lagi karena bukti di wajah ini sudah sangat jelas.

Pak Dimas berbalik badan, lalu berbicara dengan polisi. Setelah itu, ia menghampiri kami. "Kalian kembali ke sekolah!" perintahnya.

"Kalau sampe ada yang kabur! Bapak bakal laporin ke kepala sekolah!" imbuhnya.

"Baik, Pak," sahut kami, lalu berjalan ke arah lapangan.

Aku melirik Bimo yang tampak sedih. "Kenapa muka lu lemes banget, Bim? Tenang gua gak bakal dikeluarin dari sekolah," ucapku.

"Speaker gua dibawa polisi," balasnya.

"Bah, gua kira lu sedih karena gua bisa dikeluarin dari sekolah?" Aku jadi merasa kecewa.

"Ya sedih lah, Dan. Lu kan sahabat gua dari kelas satu."

"Gara-gara lu sih, Gus! Ngapain sih datengin markas orang?" omel Handeka.

"Gua gak datengin markas mereka, Dek. Orang pas gua lewat sini, langsung dicegat, terus disekap," balas Agus.

"Terus motor lu mana?" tanya Reno.

"Eh, iya! Motor gua masih ada di sana!" Agus berbalik badan dan berlari untuk mengambil motornya.

"Lu nanti mau ngejelasin apa ke Pak Diman, Dan?" tanya Reno.

"Jelasin yang sebenernya aja. Semoga aja Pak Dimas percaya," balasku, sembari menyalakan motor.

Kami pun pergi ke sekolah. Di sepanjang perjalanan, pikiranku menerawang. Memikirkan masa depan yang sedang berada di ujung tanduk. Apa yang harus aku katakan pada ibu, jika benar-benar dikeluarkan dari sekolah.

"Dan, punggung sama muka lu gak sakit?" tanya Bimo, saat kami tiba di parkiran sekolah.

"Gak." Sebenarnya masih terasa sakit, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Ada hal yang lebih penting menungguku di lapangan sekolah.

Kami berjalan bersama-sama ke lapangan. Di sana, Pak Dimas sudah berdiri sembari memegang penggaris kayu besar. Sepertinya, rasa sakit di tubuhku akan segera bertambah. Selama rasa sakit itu bisa menebus kesalahanku, sehingga tidak dikeluarkan dari sekolah. Aku akan menerimanya.

"Baris!" bentak Pak Dimas. Kami berbaris dengan rapi. Kemudian ia meminta kami maju satu persatu sembari mengulurkan tangan.

Plak!

Kedua tangan kami tak ada yang luput dari sentuhan penggaris kayu. Sentuhan yang membuat rasa sakit di punggung dan wajah hilang beberapa detik.

Pak Dimas mulai berceramah. Sementara kami hanya bisa menundukan kepala, tak berani menatapnya. "Besok bapak bakal bilang ke kepala sekolah, buat keluarin kamu Aidan!" Kalimat terakhir itu membuat beberapa temanku mengangkat kepala.

"Jangan, Pak!" sahut Bimo.

"Aidan gak salah, Pak," timpal Reno.

"Jangan bela temen kamu! Dia udah bawa pengaruh buruk buat kalian!" Pak Dimas tidak mau mendengarkan kami.

"Gus! Lu ngomong lah!" omel Handeka.

"Bapak dengerin cerita kami dulu. Woy! Gus! Ngomong lah!" Bimo membentak Agus yang dari tadi diam saja.

IBUKU DUKUNTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon