Prolog

942 171 84
                                    

Seisi bumi raya ini pernah demam tinggi disuntik virus Oasis and The Blue. Disaksikan langit yang turut membungkus kenangan zaman dulu dengan cara yang manis di memori manusia-manusianya. Don't Look Back In Anger sahut-menyahut seantero dunia. Dari mulai emperan toko sampai kedai kopi yang sejarahnya nyaris bangkrut, mampu terselamatkan berkat lahirnya karya Oasis yang rilisan seminggu lepas.

Adanya tahun 1995 tidak lain karena sebuah penantian. Menanti yang rasanya sampai seperti mati. Masalah menanti dan penantian, korban paling ramainya adalah sekumpulan manusia-manusia yang tengah menderita penyakit asmaraloka. Gejalanya antara lain suka tersenyum, jantung menggila detaknya, pipi merona manis dan birai yang lembut melantunkan kalimat-kalimat penuh kasih. Pada akhirnya, yang membuat mereka sabar menanti adalah keping hatinya masing-masing.

"Jangan lupa ya! Hari Senin jam lima sore di taman dekat sekolah!"

Atau,

"Kalau gitu, aku bakal datang bawa bunga tulip, kamu juga ya! Biar bisa saling kenal."

Itu sepenggal kalimat singkat yang seringnya diudarakan untuk membuat sebuah janji saling menanti. Rumit kalau soal penantian. Apalagi di suatu momentum yang melibatkan seseorang menanti terlalu lama dengan latar janji temu yang jauh dari telepon umum. Kalau sudah begitu, jaminannya ya sebuah perdebatan. Saling menuntut penjelasan untuk mengurai kesalah-pahaman.

Menanti ya?

Jangan tanya Kiyesa kalau soal penantian. Dia ratunya menanti dan sekalipun tidak pernah dinanti-nantikan balik oleh seseorang. Kendati amarahnya sering menggelegak tinggi, dia masih rajin menanti. Ini bukan perihal asmaralokanya. Ini perihal primadona yang menguasai hatinya. Disaat orang-orang (terutama segerombolan bapak-bapak berjiwa muda pengagum rock) sibuk mendeklarasikan rasa kagumnya menyangkut Oasis dan karyanya, Kiyesa, gadis 17 tahun ini sedang gila-gilaan mencintai Britney Spears.

Menanti adalah level terendah bila menyangkut soal menggemari primadonanya. Hari ini, masih sama rumahnya. Masih sama dengan radionya yang suka ngambek dan terpaksa harus ditampar keras agar sinyalnya kembali. Pun masih sama dengan Kiyesa yang terduduk gelisah ditemani radio yang berdiri di depan netranya.

"...tokoh utama hari Minggu, alasan kenapa orang-orang duduk di rumah mendengarkan radio ini, akhirnya tiba waktunya! Siapa yang nunggu primadona dunia, Britney Spears? Pasang telinga! Baby One More Time oleh Britney Spears akan hadir setelah jeda berikut!"

Kiyesa menarik nafas panjang sembari mengeluh.

"Tinggal diputar sekarang apa susahnya sih? Aku nunggu dari satu jam lalu, bilangnya habis ini, sebentar lagi, habis iklan ini, bla bla bla. Ujung-ujungnya nggak diputar-putar! Aku udah siapin liriknya!" Si tukang merajuk kambuh lagi. Kesabarannya sudah sampai di kerongkongan, sedikit lagi dipermainkan, amarahnya dipastikan sudah akan menggelegak. Koran mingguan yang rutin dibaca ibunya, jadi sasaran nelangsa telunjuk sang gadis yang kejam menuding serangkaian lirik lagu di dalam sana.

"Ki! Ambilin belanjaan Mama di warung! Udah disiapin, kamu tinggal ambil!"

Ada dua tindakan yang bisa dilakukan setiap kali Kiyesa diperintah. Satu, patuh. Dua, jangan membantah. Intinya si malang Kiyesa, tidak punya kuasa untuk melawan. Kendati lidahnya selalu gagal bersilat, atas dasar keras kepalanya, dia masih berusaha menjinakkan sang penguasa gubuk sederhana ini.

"Nggak bisa nanti aja? Lagi nunggu Baby One More Time."

Ibunya melongok dari balik dinding dapur.

"Kalau gitu kamu makan siangnya jam tiga sore."

"Sebentar lagi, lima menit lagi, habis iklannya selesai."

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now