11. Mendekatlah, Kurasakan Kamu

156 39 4
                                    

Kalau bukan karena perutnya yang terasa begitu menggelitik, Kiyesa sudah dipastikan akan melontarkan kalimat indah soal cantiknya lengkung senyum Sayudha yang terangnya menyaingi gemintang bintang di atas sana

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Kalau bukan karena perutnya yang terasa begitu menggelitik, Kiyesa sudah dipastikan akan melontarkan kalimat indah soal cantiknya lengkung senyum Sayudha yang terangnya menyaingi gemintang bintang di atas sana. Matanya nyaris menghilang sebab sebegitu lebarnya birai manis itu tersenyum, tapi lucu sekali bila dipandang.

Sayudha terbahak keras seolah dia hidup untuk tertawa. Tubuhnya sampai membungkuk sebab otot perutnya terasa menegang. Kiyesa yang bersandar pada tiang lampu jalan, menemani derai tawa Sayudha malam ini. Kemudian disudahi ketika Kiyesa merasakan sesuatu datang merusak tawanya. Dia menderita cegukan secara tiba-tiba.

"Berhenti, Sa!" Kiyesa merengek dengan lantang disaat dadanya naik-turun sesekali sebab cegukan yang mengacau tawanya.

Sayudha mengangguk. "Oke, oke, aku berhenti." Masih dengan senyumnya yang tertinggal di pahat wajahnya, kakinya mendekat.

Kiyesa berkelit manakala Sayudha dan jari-jemarinya yang seukuran raksasa itu hampir mendarat di lehernya. Matanya membulat.

"Kamu mau cekik aku?!" Pekiknya tertahan, diakhiri dengan cegukannya yang terkesan lucu didengar telinga.

"Selain minum air, kamu bisa pijat lembut di sekitar sini, arteri karotis. Arahnya berlawanan dari jarum jam."

Kiyesa berhenti menentang. Sayudha dibiarkan begitu saja, menyentuh lehernya dengan lembut. Tinggi keduanya yang terpaut jauh sekali rentangnya, menjadi alasan utama kenapa yang mengisi netra sang gadis saat ini hanya sablonan kaus coklat Sayudha. Apa yang terjadi setelahnya, begitu Kiyesa sesali dengan sepenuh hati. Tepat ketika kepalanya mendongak, ia temukan Sayudha dengan jarak yang tersisa sedikit antara dirinya dan si jangkung ini. Kiyesa menjumpai persembahan semesta malam ini. Tidak pernah ia tahu sebelumnya bahwa siraman lampu jalan yang temaram, sempurna rasanya ketika benda itu menghujani manusia yang tepat. Kalau begini, Sayudha pantas dibilang bukan manusia. Dia telah melampaui kriteria manusia normal dengan pahat wajahnya yang sempurna begitu.

Kontras sekali, ayu rupanya bermandikan siram sinar lampu jalan malam ini.

Kiyesa berdehem semata-mata untuk menjauh dari Sayudha lalu mengudarakan kalimatnya. "Udah, udah hilang."

Sayudha menarik kakinya selangkah lebih mundur. Baru ketika itu, Kiyesa kembali menjadi dirinya sendiri. Sosok yang tanpa canggung. Sosok yang tidak lagi takut jantungnya berdegup kencang seperti yang pernah terjadi hanya karena pemicunya adalah Sayudha dan tingkahnya yang diluar terkaan itu. Manis namun menyebalkan.

"Darimana kamu tahu cara itu?"

Sayudha tersenyum pongah. "Nggak ada yang nggak aku tahu."

Kiyesa niatnya mencibir, namun terpikir olehnya tentang cara Sayudha memandang dirinya sendiri.

"Aku iri," Katanya sembari melempar tatapnya pada Sayudha, "Kamu punya rasa percaya diri setinggi itu. Meski kadang agak nyebelin, tapi kamu nggak salah. Apa yang ada di dirimu sendiri, apa yang kamu punya, kamu tahu jelas."

Meet Me At The WindowOù les histoires vivent. Découvrez maintenant