19. Tawaran Pukul Delapan Malam

77 18 5
                                    

(( potret Sayudha hari minggu, pelaku pemboikotan warna biru ))

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(( potret Sayudha hari minggu, pelaku pemboikotan warna biru ))

Izinnya sekejap, tapi kenapa sampai sekarang belum kembali? Ini soal Sayudha yang terhitung sepuluh menit genap mencampakkan Kiyesa bertemankan berisiknya hari minggu. Pada siapa Sayudha titipkan gadis itu? Tuan angin yang sesekali meniup lembut surainya? Pada nona mentari yang mendekap hamba-hambanya dengan gersang panasnya? Atau pada semesta yang tidak berjanji mau menemani Kiyesa dengan cara yang ceria?

Menggembung besar pipi Kiyesa manakala kepalanya menunduk, menyaksikan kaki-kakinya yang diguncang kecil. Bagian buruknya, Sayudha membiarkannya luntang-lantung seorang diri disaat manusia-manusia lain sibuk ber-haha-hihi. Hanya saja, Kiyesa merasa kosong untuk sesaat kendati ia terlatih menyusuri jalan tanpa kawan.

Kakinya yang jahil memperalat kerikil sebagai sarana pengusiran rasa bosannya, berhenti bergerak manakala sebuah tangan ia jumpai begitu saja. Tergenggam ikat rambut warna hijau pucat bertoreh lukis bintang putih yang menyebar disegala sisinya. Manakala kepalanya mendongak, alisnya kontan terangkat.

"Buat aku?" Telunjuknya berpulang menodong dirinya sendiri. "Tapi aku nggak minta?"

"Kamu tahu sekarang ini kamu mirip siapa?"

"Siapa?"

"Kuli bangunan," Dagunya mengedik, "Keringatmu sebesar bulir jagung, kamu kelihatan kayak habis mandi tahu nggak? Pakai sekarang. Mau aku bantu pakai—"

"Nggak usah," Kiyesa menolak tanpa mau pikir dua kali, "Tanganmu bau neraka."

Sayudha yang kebal cacian (terlepas serius atau guyonan) merasa malas berdebat. Sering kali terlibat silat lidah Sayudha ini, tapi menyangkut yang sekarang, alasan kenapa tidak terlisan apapun kendati Kiyesa mencibir pedas begitu, semata-mata karena lawannya ya Kiyesa. Manusia yang harus ia jaga jauh-jauh dari yang tajuknya pertengkaran dengannya.

"Makasih," Dia selesai mengikat seluruh rambut meski beberapa diantaranya keras kepala menolak untuk diikat rapi, "Kamu cari ini sampai kemana? Kenapa sendirian? Apa maksudnya kamu cari-cari ikat rambut buat aku tanpa menyertakan ak..."

"Kenapa? Kamu kenapa?"

Kentara sekali terkandung banyak racik cemas dalam luncur kata-katanya manakala Kiyesa menggantungkan kalimatnya. Ditutup ucapannya dengan desis pedih yang menyulap keningnya jadi mengkerut dalam. Si gadis menunduk, pun Sayudha ikut begitu.

"Kegigit bibirnya."

Naluri hati atau mungkin Sayudha terlalu dipojokkan oleh cemas yang merenggut kewarasannya. Kiyesa membeku manakala lembut tangan Sayudha menyapa dagunya. Anak menyebalkan ini kembali bertingkah semau hatinya sementara korbannya—lagi-lagi Kiyesa—sampai menahan nafas akibat bentang jarak yang terlalu tipis.

"Berdarah," Suaranya merendah dan harus diakui oleh Kiyesa bahwa tingkah kecil Sayudha barusan serupa belati tajam yang mampu mengoyak hati sang gadis, "Kamu umur berapa sebenarnya sampai-sampai ngomong pun nggak becus? Pelan-pelan lain kali. Buru-buru banget kayak ngejar doorprize."

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now