10. Manisnya, Pahitku

175 35 9
                                    

"Ki! Dicari Biru!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ki! Dicari Biru!"

Jauh dari terkaannya, kalimat itu rupanya tidak secepat masa kadaluwarsa sebuah kuki rumahan tanpa pengawet. Gara-garanya, Kiyesa jadi semakin kesulitan menilai arti dibalik katanya. Betul-betulkah Biru dengan kalimat yang selaras dengan perasaannya atau malah sebaliknya?

Sepengamatan Kiyesa sampai saat ini, Biru terasa lain dimatanya atau harus ia katakan, lebih berarti sekarang dibanding yang dulu? Pertama kali kalimat yang bertahan mengudara sampai nyaris dua minggu ini, Biru tidak banyak memberi atensi untuk si gadis, seolah-olah kalimat yang seringnya terlontar dari kawan-kawannya, tidak lebih dari guyon picisan. Tapi, berubah kah perasaan Biru atau dari awal memang dia yang terlalu pandai menata perasaannya?

Kiyesa mendapat senyum. Terkadang rasanya hangat, terkadang manis. Kendati seisi bumiraya ini membingkai keduanya dengan tetek-bengek duniawi yang seringkali mengundang peningnya kepala, Biru masih menyempatkan mengulas senyumnya setiap kali jelaganya berhasil menemukan Kiyesa sengaja atau tidak.

Kalau begini, boleh tidak Kiyesa menaruh harap padanya? Baru harap kok. Bukan menaruh hati.

Berdiri di hadapan Biru, masih terlalu beresiko. Kiyesa takut kalau-kalau jantungnya berdegup gila. Selain senyumnya, tidak ada yang bisa dilakukan oleh gadis itu sebab nama belakangnya, tak ubahnya masih sama, yaitu tukang malu. Manakala netranya menjumpai Biru yang tengah menarik keluar sepedanya dari rentetan benda sejenis miliknya, Kiyesa hampir saja menyangka dirinya seonggok robot saking kakunya dia bertingkah.

"Ki,"

Si nona pemilik nama berhenti melangkah, kepalanya menoleh lantas tersenyum.

"Pulang sendiri?"

Dia mengangguk. "Biasanya sama teman kelas sebelah, tapi dia ada kelompok sama teman-temannya,"

Kepalanya melongok keluar gerbang. Sekumpulan wajah yang terasa akrab di netranya, menyapa dengan seutas senyum jahil lengkap dengan derai candanya yang menggoda.

"Kamu pulang sama mereka ya?"

Giliran Biru yang menganggukkan kepalanya. "Udah ditunggu, ada janji main PS."

"Oke, kamu bisa duluan."

Kiyesa menyingkir, memberi jalan lebih luas lagi semata-mata untuk mempersilakan kepergian Biru dengan sepedanya yang hitam nyaris abu-abu. Kiyesa merasa aneh ketika Biru yang sudah gagahnya bertengger menunggangi sepedanya, memberi pesan singkat yang tak pernah Kiyesa perkirakan, sebesar ini getaran yang ia dapat darinya.

"Aku boleh minta nomor telepon rumahmu? Mau ngobrol."

Kiyesa tergagap selayaknya anak kecil yang bingung bersikap hanya karena orang yang ia simpan dalam hatinya, menyadari presensinya. Kedua tangannya kabur, bersembunyi untuk merahasiakan gugupnya lewat jari-jemarinya yang saling bertaut erat. Biru mungkin tidak tahu seberapa semrawutnya perasaan Kiyesa saat ini sampai rasanya lututnya hampir menyerah, dan ia terancam meluruh jatuh menyatu bersama tanah.

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now