17. Sampai di Persimpangan Hati

88 21 1
                                    

Masih ceria semesta hari Kamis ini. Pilih kasih yang namanya dunia itu. Orang-orang sibuk melempar roman picisan sampai pipi meyemburat merah, terpingkal-pingkal berkat tata kalimat yang menggelitik, atau tenang mengamati konstelasi emosi yang terlihat menarik jelaga. Mau tahu sesuatu yang ajaib? Mungkin sihir, mungkin juga bukan. Hanya saja, sekotak telepon umum yang sekarang tengah mengurung sepasang kawan di dalam sana, seperti tengah jauh terasing dari hiruk-pikuknya bumi raya yang semrawut begini.

Klaristha menunduk. Sesuatu terasa berguncang hebat. Kiranya gempa bumi, rupanya sebatas ricuh kecil yang ditimbulkan dari guncangan kaki kanan Kiyesa. Gadis itu mungkin belum tahu benang merah lain yang menjeratnya untuk terus terlibat bersama Sayudha, tetapi, selain Kiyesa, Sayudha juga gemar sekali mengguncang kakinya sama persisnya dengan apa yang tengah diperbuat Kiyesa saat ini.

Klaristha menanti begitu sabar, dan Kiyesa merasa terlalu berkobar dalam melangitkan pintanya. Serba salah menurutnya. Disatu sisi, besar sekali inginnya agar Sayudha mengacuhkan teleponnya. Lebih baik anak raksasa itu kehilangan penyerantanya jadi ia tak akan tahu pernah ada panggilan yang mampir ke nomornya. Sisi lainnya, gawat kalau Sayudha melewatkan panggilan ini. Bisa dicap penipu kelas kakap si Kiyesa kalau omongannya tidak mampu diubah jadi kenyataan kali ini. Terlebih lagi bilamana-bagian paling pahitnya-berakhir sepasang kawan itu dalam jerat perang dingin dan saling membentengi masing-masing.

Serupa seorang tamu yang mengetuk, penyeranta milik Sayudha bergetar singkat. Rentet angkanya berantakan dan terasa asing dilekat memori benaknya yang pandai menyimpan potongan hidupnya, dan nomor telepon ini tidak termasuk dalam bagian penting dalam ceritanya.

"Sa! Lemot banget jalannya!"

Nomor asing, dan Sayudha cenderung malas membangun koneksi sesama manusia di luaran sana. Penyeranta miliknya merosot masuk ke dalam saku celananya sebelum berakhir terguncang sebab kakinya melangkah lebar, menyusul kawan-kawannya.

Kiyesa mengerling sepintas pada si nona darah biru yang atensinya masih membuncah-buncah. Bermain peran sebagai manusia yang tengah dirundung sendu, bukan tokoh yang harus Kiyesa lakoni disaat bibirnya rawan terangkat naik. Pada akhirnya, dia berdehem.

"Gimana? Diangkat?" Klaristha beringsut lebih dekat. Banyak berharap akan terdengar pula oleh telinganya, suara idolanya jauh diseberang sana.

"Nggak," Kiyesa berkelit sembari bersiap menutup telepon, "Aku nggak bohong, ini beneran nomornya dan kebetulannya dia nggak angkat telepon. Kamu bisa coba lagi lain ka-"

"Halo?"

Suara manusia jantan, menyertai pula hembus nafasnya yang tak beraturan, terkesan akrab di telinga baik menurut Kiyesa maupun Klaristha-si penggemar. Tamat. Kemenangan yang nyaris jatuh ke genggam tangan Kiyesa, berbalik memihak Klaristha.

"Halo? Ada orang?"

Sayudha, kenapa kamu gemar sekali bermain tarik-ulur begini?

Klaristha kontan mengguncang pundak sempit sang teman. Terbaca jelas sekali lewat sorot matanya yang berkobar menghanguskan segalanya, menyisakan hanya atensinya untuk Sayudha. Mulutnya membulat tak habis pikir. Jadi benar adanya kalimat yang rasanya seperti omong kosong itu?

"Halo," Kiyesa menyahut setelah berdehem kecil. Lebih banyak dari timbangan syukurnya, gadis itu merasa menyayangkan keadaan. "Ini aku, Kiyesa." Kenapa kamu angkat teleponnya? Semestinya ia meraung begitu, tetapi pasang jelaga kelap-kelip milik Klaristha, menguncinya begitu erat seolah-olah semua yang ia rasakan tersampaikan padanya.

"Untung aku angkat teleponnya,"

Harusnya nggak kamu angkat! Kiyesa hampir kelepasan menggertak bila saja tidak ia gigit kuat-kuat bibirnya sampai perih datang bertamu.

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now