04. Satu, Dua, Tentang Kita

325 86 26
                                    

Entah sudah sampai sedalam mana harsa jelek milik Kiyesa untuk meniadakan ibunya. Sudah sepahit apa usahanya mengabaikan ibunya. Pun sampai sejauh mana pintanya yang berdasar pada keegoisan dirinya sendiri, menuntun hatinya untuk berbuat tindakan tidak terpuji pada ibunya. Anak mana yang bercita-cita memerankan putri durhaka untuk ibunya? Kiyesa tidak mau begitu. Tapi, meredam rasa kecewa yang terpantik hebat, bukan sebuah hal yang diperbuatnya tidak harus butuh banyak usaha untuk bisa merubah segalanya.

Merelakan hati rasanya terlampau sulit apalagi setelah Kiyesa menjumpai pintu rumahnya tidak mengizinkan dirinya untuk berpulang. Berdiri di depan rumahnya yang tak terasa seperti selayaknya sebuah rumah. Sekali, mulutnya berdecak kesal sebelum kepalanya sengaja dihantukkan ke pintu rumahnya sendiri. Perkara kemarin saja belum tuntas, dan Kiyesa sudah dijatuhi persoalan lain yang terus saja memaksanya untuk tetap merajuk.

Jendela kamarnya terkunci rapat dari dalam sana yang mana mengakibatkan trik kabur andalannya, jelas tidak mampu ia gunakan.

Kakinya berbalik. Terduduk di anak tangga nomor dua yang letaknya setelah gerbang rumahnya, dia menunduk dalam. Akar dari amarahnya yang membumbung ini, mungkin ada benarnya ia sebabkan karena dirinya sendiri. Kalau saja pagi tadi dia menyempatkan diri untuk mengisi perutnya dengan sepiring nasi dan segelas susu—tidak peduli hatinya terus menggerutu atau merenggutnya secara gelap-gelapan—perutnya tidak akan sebegini berisiknya. Energinya tidak akan tersisa dengan takar yang terlampau sedikitnya sampai-sampai Kiyesa pikir, cuma-cuma menggunakannya.

Seseorang dan derap langkah kakinya yang terasa kian dekat di rungu pendengarnya, memberi sedikit harapan untuk Kiyesa. Kepalanya mendongak. Lucu sekali ketika ia sadar dengan sepenuhnya bahwa disaat-saat pertengkarannya dengan ibunya seperti ini pun, dia masih berharap yang tiba menghampirinya adalah manusia yang membuatnya merajuk hebat begini.

Rupanya bukan.

Itu Sayudha yang masih menggendong ranselnya dan tangan yang menenteng sebuah bingkisan.

"Bikin kaget aja," Matanya membulat manakala Kiyesa mengangkat kepalanya, "Ngapain di sini? Kenapa nggak masuk?"

Si gadis tersenyum kecut sembari menuding rumahnya dengan ibu jarinya. Dia bilang, "Nggak ada orang. Nggak dapat pintu."

Sayudha diam dengan carut-marut tanda tanya dalam benaknya sendiri. Utamanya tentang lanjut tidaknya cakap singkat ini. Baik-baik sajakah Kiyesa bila kakinya melangkah pergi meninggalkannya setelah mulutnya basa-basi busuk begini? Sepertinya tidak. Kalau begitu, baik-baik sajakah dirinya bila ia menemaninya sampai ibu sang gadis pulang? Sepertinya iya.

Kiyesa menunduk dalam-dalam seolah ditatap seisi dunia ketika perutnya berkeroncong hebat. Sayudha terkekeh kecil tanpa mau bersusah payah menyembunyikannya.

"Apa tuh barusan? Aku pikir suara guntur. Ternyata nggak mendung sama sekali langitnya."

Matanya mengendap lucu dari balik jari-jemarinya yang ikut menyembunyikan semburat merah yang menerpa pipinya. Lewat celah sekecil itu, ia dapati Sayudha melangkah lebih dekat ke arahnya lalu terduduk menemaninya. Gemerisik kecil mengudara ketika tangannya merogoh kantung plastik yang sedari tadi ditentengnya.

"Roti moka."

Kepalanya ditelengkan. Kiyesa malu bukan main manakala dihajar fakta bahwa Sayudha lebih dulu menangkap basah matanya yang gelap-gelapan mengamatinya. Kontan, kepalanya mendongak lantas menggeleng.

"Nggak usah, nggak apa-apa. Aku jago puasa. Ini bukan seberapa."

"Ini juga nggak seberapa," Sayudha menyalin kalimat terakhir Kiyesa dengan sempurna sembari mengguncang sebungkus roti moka di genggaman tangannya, "Kalaupun aku bawa pulang, nggak akan ada yang makan, akhirnya menjamur. Sayang kan?"

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now