12. Kalau Tak Sejalan, Maka...

154 33 8
                                    

Mau bicara tentang episode malang Kiyesa kecil sebagai tumbal kejamnya semesta?

Kata kunci kali ini ada 3 ; luka, air, benci. Bagian kesatu tajuknya, lara yang tidak seharusnya ia terima.

Bangga sekali rasanya saat itu kala pamannya berkunjung dengan benda asing yang rakitannya rumit sekali. Kata ibunya, namanya sepeda motor, tugasnya mengantarkan manusia pada destinasinya. Keren sekali dipenglihatannya benda itu sampai-sampai kaki mungilnya membawanya untuk mengamati lebih dekat lagi. Sayangnya, Kiyesa yang sedang ketiban kemalangan waktu itu, berakhir meraung keras dengan air mata yang turut mengucur deras sebab betisnya tanpa sengaja bersinggungan dengan knalpot yang masih panas-panasnya mengepul asap.

Dia menjerit-jerit. Perihnya awet tertanam sampai matanya terpejam begitu erat hanya karena tidak ingin ia tengok bagaimana rupa kakinya saat itu. Lantas dari bagian kesatu ini, Kiyesa mengasingkan diri setiap kali jelaganya menemukan sepeda motor atau ketika rungunya menangkap gerungan mesinnya.

Bagian kedua tajuknya, karena air dia selalu menyingkir.

Kiyesa suka hujan bukan berarti ia sukai pula genangannya. Sedari dulu, anak itu tidak mampu bergaul dengan air dalam jumlah yang cukup banyak sampai-sampai mengundang cemas dalam dirinya. Kiyesa suka hujan sebab airnya yang turun setitik demi setitik. Kolam renang, pantai, laut, atau sekumpulan latar lain yang poin utamanya menyimpan banyak air, dia tidak suka. Sebab suatu kali waktu itu, air hampir saja merenggutnya dari dunia yang berantakan ini.

Kiyesa kecil, tidak tahu atas alasan apa tubuh seringan kertasnya terasa semakin jauh dari permukaan. Sebatas menjerit pada ibunya pun ia tak sempat. Air menyembunyikannya dari ricuhnya dunia. Air membungkusnya dengan cemas dan kesendirian yang rasanya teramat menyiksa. Air berhasil membuatnya merasa bahwa tidak lagi tersisa kesempatan kecil untuknya terus bertukar dongeng bersama ibunya. Berkat pahitnya toreh memora lawas itu, tumbuh rasa benci yang kini subur berkembang dalam sanubarinya. Dia masih saja membenci air.

Hidupnya masih berlanjut, itu berarti masih akan datang episode-episode berikutnya. Kiyesa tahu itu, tapi tidak pernah tahu bahwa hari ini adalah saatnya episode itu mendapat bagian ketiganya.

Bagian ketiga tajuknya, dia tidak lebih dari malapetaka.

Kalau begitu, jauhi saja daripada terluka. Begitukah? Menurutmu, mampukah si tukang labil ini memantapkan hati untuk menghapus sebaris nama yang belakangan ini berhasil memporak-porandakan dirinya? Pertamanya, rumah mereka berjarak satu gang, besar persentase kemungkinan mereka untuk saling bertemu tiap harinya. Kiyesa yang tidak punya kemampuan baik untuk memutuskan, dipastikan goyah nantinya hanya karena ia jumpai Sayudha di jalan tanpa sengaja.

Ah, Sayudha.

Darimana kamu belajar trik manis begitu sampai membuat Kiyesa kacau begini? Sekalipun kakinya menginjak lantai rumahnya, jantungnya rentan sekali berdegup kencang. Penuh sesak benaknya dengan kilas memori yang baru saja terjadi.

Kelimpungan gadis itu menangani dirinya sendiri.

"Nggak, dia pasti nggak sadar. Dia lagi sakit, orang sakit bisa aja ngelantur. Dia juga kedinginan. Naluri manusia namanya kalau cari kehangatan selagi suhu tubuhnya tinggi."

Mulutnya sibuk bergumam mendoktrin benaknya sendiri. Kalau saja otaknya bisa digadai barang sebentar, akan ia lakukan begitu semata-mata untuk menyingkirkan Sayudha yang terus saja tinggal dalam benaknya.

"Kalau dia sadar? Dia tahu aku yang ada di depannya. Dia bahkan bilang aku boleh pukul dia kalau udah sembuh. Itu artinya bukan cuma nggak sengaja."

Kepalanya jatuh tertunduk. Saat-saat begini, Kiyesa akan menyebutkan bahwa yang lebih kejam dari aksi penjajahan Belanda selama ini adalah duduknya nama Sayudha yang bandel sekali melekat di kepalanya. Jantungnya saja sudah mau meletup begini, sekarang kepalanya terasa hampir meledak hanya karena Sayudha bersikeras untuk tidak mau minggat dari sana.

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now