27. Mereka, Sepasang Manusia Keras Kepala

71 13 6
                                    

Kalau tahu paginya sepahit ini, Kiyesa lebih memilih tinggal dalam tipuan fiksi bunga tidurnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kalau tahu paginya sepahit ini, Kiyesa lebih memilih tinggal dalam tipuan fiksi bunga tidurnya. Masa bodoh matanya baru terbuka pukul empat sore atau sampai malam kembali menjemput. Sekalipun ombak kesalnya bergulung menggusur tenangnya, Kiyesa tidak mampu menentang semesta terang-terangan untuk sebuah pertanyaan : kenapa bahagianya yang sempat hidup semalam, seketika redup?

Ia ingat gores tinta torehan Sayudha disecarik sticky note, menempel erat pada keningnya. Jam bekernya meraung keras sebelum kelopak matanya yang beratnya bukan main, terbuka dan ia menemukan jendela kamarnya sudah ditutup rapat minus dikunci dari dalam. Sayudha tiada. Pamitnya tidak sempat ia saksikan.

Lalu besoknya, Kiyesa yang malang, disambut dengan rangkai skenario yang menjadikannya sebagai manusia terdepan yang mulai membenci hari selasa pukul enam pagi.

"Cari siapa?"

Ibunya bersua dengan ramah-tamahnya. Kiyesa yang sibuk menyatukan cecer nyawanya, terdiam setengah sadar di atas tempat tidur.

"Ada gerbang, kenapa kamu harus loncat begitu?"

Sedikit, Kiyesa membuka matanya lebih lebar sembari menajamkan rungu. Benaknya bekerja, menerka siapa gerangan yang tiba.

Mengudara kekeh kecil yang terasa bersahabat dengan telinga Kiyesa. "Belakangan ini tertarik sama parkour," Menyusul tawa kecil ibunya, "Kiyesa .... ada?"

Kalau ada yang lebih sakti daripada sihir, maka itu suara berat milik Sayudha. Otaknya merespon begitu cepat. Kiyesa mendadak giat membenahi diri untuk menyambut kembali manusia yang sempat menghilang tanpa seizinnya malam tadi.

"Dia masih belum bangun. Ada apa? Ada yang mau kamu sampaikan? Bilang aja, nanti Ibu kasih tahu dia."

"Ah..."

Kiyesa membulat. Tangannya menyibak selimutnya sembarangan. Kakinya yang biasa tersaruk-saruk sebab energinya belum penuh terisi, melaju pada jendela kamarnya. Sayangnya, sampai pada kunci jendelanya pun menolak berkontribusi untuk mencegah perginya Sayudha. Gadis itu nyaris mengumpat kelewat kencangnya ia mengunci jendelanya sendiri.

"Bukan apa-apa, lain kali aku bisa mampir lagi,"

"Sa, Sa, Sa! Jangan pergi dulu! Jangan dengerin Mama! Aku udah bangun-kenapa jendelanya susah banget dibuka?!" Kiyesa yang sejarah kesabarannya singkat sekali dan mustahil ditolerir-apalagi menyangkut dengan ketidakbergunaan sebuah benda-terlampau marah.

"Kalau begitu, pamit ya Bu. Terima kasih sebelumnya, maaf ganggu paginya."

Kiyesa menggeleng keras. Birainya sampai digigit kuat saking menyebalkannya si jendela. Sedikit lagi, hanya sedikit lagi sampai kunci jendelanya disentil ke atas lantas benda itu dipastikan terbuka. Masalah utamanya usia sepuh si jendela yang pada akhirnya menyebabkan kemacetan pada kuncinya sebab yang namanya karat terlalu banyak menggerayangi tiap sisinya.

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now