14. Semestanya Sayudha, Sempurna

125 31 2
                                    

Lebih dari air, Kiyesa banyak bersedekah pada Sayudha tentang sekelumit rasa cemas yang meledak-ledak mirip kembang api ketika tahun baru menyambut. Meriah sekali dan Kiyesa begitu kewalahan menanganinya. Kalau tidak pada Sayudha, kemana ia hadiahkan cemas yang tumbuh subur begini? Dia manusia yang paling tepat, dan hanya dia yang mesti menerimanya. Sayudha, kalau kamu masih saja bebal dan belum mengerti, ini artinya Kiyesa lebih takut pada presensimu ketimbang berkubik-kubik air yang tumpah.

Andai, andai saja derita rasa yang mengacau benaknya ia kunci rapat-rapat, Sayudha dan kalimatnya yang manis namun beracun itu, tidak akan pernah mengudara. Dengan demikian, Kiyesa tidak perlu mengarungi laut gundahnya mati-matian begini. Apa ya satu untai kata pendek yang pantas jadi sebutan untuk Sayudha saat ini? Sebuah lambang kebencian? Bukan. Kiyesa belum sampai pada bagian itu. Hanya saja, dengan sepenuh hati gadis itu memohon agar tidak ada yang berubah antara dirinya dan Sayudha. Klimaks mereka hanya sampai sini, sepasang teman yang saling menguatkan, tidak lebih tidak kurang dari itu.

Kalau boleh berterus-terang, ada yang tidak beres pada si gadis. Nyaris terhitung semalaman penuh, sampai langit menggelap sempurna, kelibat nama Sayudha disertai kutip ucapnya terus mengacau benak, berakhir pada sepasang kelopak matanya yang menolak dipejam.

"Terus kenapa ada C dikepalanya? Sampai dia salah sebut nama? Kamu nggak bisa tebak apa artinya?"

Sayudha baik-baik saja, sehat, bugar dan masih waras meski terkadang hilang se-ons bobot otaknya. Pahitnya, kalimat yang ia luncurkan semalam, benar adanya. Bila direnungkan sekali lagi, boleh disebut gejala jatuh cinta, bukan begitu?

Kata orang, jatuh cinta juga punya gejala sebab cinta sendiri artinya adalah sebuah penyakit yang datangnya tanpa pilih-pilih nona atau tuannya. Cinta, asmaraloka, suka, atau apapun itu yang artinya suatu perasaan istimewa seseorang, kaitannya tidak kemana-mana selain dengan hati dan jantung. Ada saat dimana Kiyesa menyadari jantungnya menggila hanya karena presensi Sayudha. Pun ada saat dimana benaknya dirombak isinya, berubah jadi penuh oleh Sayudha begitu saja.

Ah, rumit sekali sih soal hati?

"Wah, anak-anak sekarang lebih berani daripada zaman dulu. Ki, kamu tahu? Waktu seumuran kamu, Mama belum berani pacaran. Takut ditampar bolak-balik sama kakekmu, takut dikurung sebulan di kamar. Makanya nggak ada cowok yang mau sama Mama dulu, takut dimutilasi kakekmu,"

Ibunya ini ajaib sekali. Selalu keluar bahasan yang sama dengan apa yang bersinggah dalam benak putrinya. Kemarin soal Sayudha. Kiyesa yang sedang gusar-gusarnya diterpa badai bernama Sayudha, malah dimeriahkan kalutnya berkat ibunya yang mengungkit-ungkit anak itu. Sekarang soal cinta dan tetek-bengeknya. Disaat putrinya tengah merenung sampai batin menyangkut perasaannya, ibunya terkesan ikut merayakan.

"Tapi zaman udah berubah. Katanya ini musim anak remaja lagi sibuk cinta-cintaan ya? Tch, Mama yakin, kalau mereka ketahuan dan berimbas sama sekolahnya, sekali dibentak sama orang tuanya aja udah mengkerut, ujung-ujungnya putus. Kamu—"

"Aku nggak!"

Ibunya terjengit, terkejut luar biasa sebab putrinya membentak begitu saja. Nyaris tersedak sesendok nasi yang hampir turun dari tenggorokannya.

"Bikin kaget tahu?!"

Tidak terima diperlakukan buruk satu-satunya, ibunya membalas dengan intonasi yang lebih tinggi dan netra membulat lebar. Manakala mulutnya baru terbuka setengah, hampir menggertak si mata wayangnya, bungkamlah ia karena sang putri lebih dulu berucap.

"Aku lain. Aku nggak termasuk dalam kumpulan anak-anak nakal yang lagi sibuknya cinta-cintaan. Jangan sama-samain aku kayak mereka. Aku nggak bakal pacaran! Aku nggak mau pacaran! Mama saksinya."

Meet Me At The WindowNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ