18. Perayaan, Teh Lemon, Lalu Kita

91 22 0
                                    

"...malam minggu semuanya! Acara ikonik yang rutin digelar diakhir pekan datang dengan episode terbaru! Narasi Sendu yang Membiru tayang setelah jeda berikut..."

Telah redup pendar ceria Sayudha. Bisa jadi bahagianya ia titipkan sepenuhnya pada Kiyesa sehingga tak lagi tersisa untuknya manakala ia seorang diri. Terasa kosong dirinya tepat setelah pintu kamar menelannya bulat-bulat. Ranselnya jatuh tergeletak, nelangsa nasibnya mirip sang tuan. Utas senyum manis, gelak tawa yang pernah mengudara sudah lebur ditiup angin. Tinggal Sayudha dengan lekuk wajah berhias titik-titik lelah dan sedikit garis kecewa.

Menyusup sampai ke dalam kamarnya celotehan bising dari televisi tua. Berantakan sekali Sayudha rasanya sementara Arimbi di ruang tengah hanyut dalam Narasi Sendu yang Membiru, acara roman picisan yang isinya melulu air mata. Sebenarnya dia sedang mendukung adiknya termehek-mehek atau bagaimana?

Kiyesa boleh jadi terkelabui sepenuhnya oleh Sayudha. Sepemikirannya, Sayudha jelas tidak tahu-menahu soal rumit hatinya atau kenapa sorot matanya tertuju tanpa jeda pada telepon rumahnya. Ini soal Biru, bukan begitu? Sayudha juga tahu kalau tentang nama singkat itu.

"Kamu sendirian? Ditinggal Kiyesa?"

Siang tadi, sewaktu penggemarnya (dibaca Klaristha) saling bertukar suara membangun bincang hangat sesaat, Sayudha mengajukan tanya. Beberapa saat, tidak tersampaikan pada rungunya keberadaan Kiyesa lalu begitu saja pertanyaannya mengudara.

"Kiyesa? Ada di depan, dia lagi ngobrol sama Biru. Ngapain sih mereka? Genit banget ketawanya padahal Kiyesa tipe orang yang suka ngakak gila-gilaan."

Gumam singkat Klaristha mungkin tidak sengaja ia lisankan dan bukan Sayudha tujuannya. Namun sang pemuda yang terlanjur mendengar, kontan terkontaminasi benaknya oleh tanda tanya keruh yang sampai sekarang masih mengambang.

Punggungnya membentur pintu ketika matanya jatuh berlabuh pada bentang kain yang ia terima dari Kiyesa kala menduduki peringkat dua olimpiade astronomi kemarin. Selamat Sayudha! Kamu Hebat! Bunyinya masih sama, pun masih tergantung di sudut kamar sang tuan. Yang lain ada pada rasanya. Dulu ia terima dengan buncah bahagia, sekarang ia pandang dengan rundung sendu.

Ah, Biru. Apa hebatnya sih kamu? Lihat Sayudha. Waktu bersaingnya lebih banyak dilihat dari minimnya jarak rumah si nona kepingan hatinya. Tinggal melangkah keluar tikungan bilamana rindu datang mengetuk hati. Biru jelas tidak sedekat itu. Tapi kenapa Sayudha merasa terganggu?

"Kenapa juga seprai kasurku warna biru?"

Sayudha menggeram. Ia tarik serampangan kain biru dongker dari atas kasurnya. Pintu dijeblak, ia seret-seret seonggok kain yang nasibnya kurang beruntung itu. Presensinya yang mengelibat sekilas tepat di depan tontonan Arimbi mengakibatkan sang kakak mendesis gusar.

"Minggir! Ngapain sih kamu bawa-bawa seprai?!"

Bantal sofa melayang sebelum mendarat selamat di kepala si bungsu. Tetapi Sayudha yang terlalu sibuk menyiksa seprai kasurnya, berlagak acuh. Lantas manakala sosoknya merangsek masuk ke dalam kamar Arimbi, pemiliknya meraung marah.

"Ngapain kamu masuk ke kamar Kakak?! Sayudha! Keluar, nggak?!"

Dipenuhi pinta kakaknya namun dengan cara yang tidak ramah lingkungan. Tergenggam di tangannya seprai warna merah muda, manis sekali dengan sekumpulan hati yang menyebar di beberapa sisinya.

"Kamu beneran ngajak ribut?! Taruh seprainya! Jangan cari masalah, Sayudha!" Bentakannya naik satu oktaf. Arimbi sampai bangkit dari sofa, tak habis pikir dengan si bungsu. "Itu sepraiku! Warna pink! Mau kamu apain?!"

"Tukar,"

"Apa? Gimana maksudnya?"

Sayudha yang kembali melintas di depan televisi, merebut seluruh atensi Arimbi, menyahut dingin.

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now