02. Kuning Pantas Untuknya

418 110 29
                                    

Tahu, persoalan apa yang manis dikecap namun meninggalkan pahit sewaktu-waktu? Soal hati, bisa terasa begitu sakit. Soal hati, banyak pula hal yang mesti dikorbankan hanya untuk sebuah kata yang bertahannya pun sementara (bahagia). Kalau begitu, tahu siapa yang masih keras kepalanya melantunkan doanya pada semesta agar pintanya dikirimi lelaki tipe idealnya segera terwujud? Anak muda.

Remaja adalah manusia-manusia yang gampang diimingi-imingi. Uang, mereka suka. Lebih suka lagi dengan yang namanya jatuh cinta. Tanpa sempat mencaritahu kalau yang namanya cinta, manisnya cuma sampai lidah tapi pahitnya sampai hati dan benakmu. Lalu, efek sampingnya bukan sebatas sakit hati yang katanya mampu-mampu saja disembuhkan bila menemukan obat yang tepat untuk luka pada perasaannya. Disamping itu, efek samping berikutnya dan yang paling mengerikan adalah kecanduan cinta.

Kiyesa, gadis normal yang juga inginnya diberi kesempatan untuk mencicip sedikit yang namanya jatuh cinta, tidak lain bedanya. Sayangnya ada serentet rintangan yang boleh jadi lebih dulu menumbangkan keberaniannya sebelum cinta tergenggam dalam tangannya. Mungkin wujudnya sebatas seorang perempuan paruh baya. Dia seorang diri, tanpa pasukan atau para pengawal yang berjajar mengelilinginya. Meski begitu, namanya Ibu. Sebuah kata singkat yang merangkap banyak peran.

"Ngapain?"

Sang putri terjengit kecil disambut ibunya yang tengah bersandar pada dinding rumah tepat setelah pintu dibuka olehnya. Presensinya yang tidak diduga-duga membuat Kiyesa perlu menata kembali rasa tenangnya yang sempat berhamburan setelah diserang keterkejutan singkat dari ibunya.

"Mama yang ngapain?"

Kiyesa dan tatap sinisnya menyerang ibunya yang lagaknya menyerupai seorang nyonya besar. Kedua tangannya yang semula dilipat di bawah dada sementara ia menanti putrinya tiba, diurai dengan tubuh yang kembali tegak berdirinya.

"Nanya kamu," Jawabnya, "Ngapain ngobrol sama tetangga baru?"

Kiyesa yang pada dasarnya tidak punya cipratan ilmu berbohong atau setidaknya kiat-kiat untuk menipu seseorang, jelas bukan lawan yang pantas untuk mengelabui ibunya.

Dia berdehem canggung. "Nggak ngapa-ngapain."

"Dari awal, kamu udah mencurigakan," Tatapan ibunya serupa seorang detektif yang tengah menginterogasi buronannya, "Kamu keluar rumah tanpa izin, kamu juga nggak bilang habis ngapain."

Sepemikiran ibunya, putrinya ini mungkin-mungkin saja sedang terserang sindrom jatuh cinta. Masa bodoh cintanya yang benar-benar cinta atau sebatas cinta monyet yang masa kadaluarsanya cepat sekali. Karena kalau tidak begitu, apa alasan kenapa anaknya menutup-nutupi sesuatu darinya? Terlebih ini perihal seorang laki-laki.

"Kamu pikir tetangga baru di gang sebelah mau pacaran sama cewek kayak kamu?"

Kiyesa lantas menoleh dengan mata membulat. Kalimat ibunya terkesan seperti tengah merendahkan dirinya.

"Dia anak pintar. Cita-citanya dokter. Nilainya nggak pernah ada yang merah. Medali, pialanya banyak. Kamu bakal menderita kalau pacaran sama cowok lempeng kayak dia."

"Mama sakit?" Nada bicaranya tajam dengan sindiran terang agar ibunya merasa tersinggung.

"Pertama, aku nggak ada niatan pacaran sama dia," Kiyesa mengangkat telunjuknya lantas menarik nafas berat, "Kedua, bukannya laki-laki kayak gitu yang baik buat masa depanku? Mama bilang seakan-akan aku yang nggak pantas buat orang kayak dia. Terus Mama aku mau sama orang yang kayak gimana? Pengangguran?"

Ibunya mengangkat kedua alisnya. "Jadi, kamu ada rasa tertarik buat tetangga baru?"

"Bukan gitu," Kiyesa merengek terlalu lelah dituduh sembarangan begini.

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now