24. Ada Gemas, Ada Cemas

65 14 16
                                    

"Kiyesa! Ayo makan!"

Tidak manjur, Ma. Putrimu sedang tenggelam dalam penantiannya. Radio tua yang terus berceloteh ngalor ngidul berakhir mencekik Kiyesa dengan sebuah rasa kesal yang tiap sekonnya kian meningkat. Ini bukan soal Britney Spears, bukan lagi perihal sederet lagu-lagu favoritnya yang segera diputar menemani malam kelabu. Ini betul soal celotehan tapi yang dinanti Kiyesa adalah tentang tulisannya. Si presenter radio—Kiyesa tidak peduli bagaimana caranya—harus sampai ditangannya gores pena yang ia tulis.

"...corner berikutnya yang paling ditunggu banyak orang adalah Sepucuk Surat dari Semesta. Wah, sebetulnya kita-kita yang disini ini masih nggak percaya Starry Night yang dulunya cuma punya sepuluh pendengar, sekarang udah bejibun banyaknya sampai kita kewalahan pilih-pilih surat mana yang harus kita baca. Kalau bisa sih kita baca semua tapi tentu mustahil terlaksana karena minimnya waktu. Oke, pasang telinga baik-baik, surat kali ini dari..."

"Ki! Makan dulu!"

Dienyahkan teguran sang Mama yang baru saja mengangkut semangkuk sup dengan bumbungan asap tinggi. Kiyesa ini langganannya irit makan, bukan semata-mata menjaga berat badan agar sedap dipandang. Bocah sok tahu itu pernah berkata begini disuatu kesempatan,

"Lebih sehat makan nggak sampai kenyang, lagipula anjuran agama juga berhenti makan sebelum kenyang kan? Selain itu aku takut kebelet panggilan alam terlalu sering."

Sang Ibu, mendebat pun malas makanya ia iyakan apa kata putrinya dengan catatan, jangan sampai tumbang Kiyesa-nya sebab butir nasi yang ia telan kurang dari semestinya.

"...kalian anak-anak muda yang sekarang sedang pasang telinga pasti nggak asing dengan yang namanya Sayudha kan? Dia yang panggilannya penakluk olimpiade saking banyak perlombaan yang selalu disabet habis. Ini dari Sayudha? Bukan, ini dari penggemarnya..."

Sepasang kelopak mata yang tersirat binar penantian, hangus sudah dilalap oleh rasa puas yang membara. Kiyesa kuat-kuat menggigit bibirnya semata-mata untuk menyembunyikan jerit lantangnya manakala malam menjerat. Sayangnya sekeras apapun usahanya, ujung-ujungnya tetap mengudara juga teriaknya yang serupa lolongan serigala.

Ibunya terjengit kecil. Beliau yang rentan dikagetkan, sedikit merasa kesal sebab putrinya coba-coba bereksperimen pada normal degup jantungnya. Sendok sayur dipukul pada tutup panci berkali-kali.

"Diam! Kamu pikir kamu Tarzan?! Ini bukan hutan!"

Padahal ibunya menyahuti keras sekali, tapi rupanya telinga Kiyesa bebal kecuali pada bising radionya yang terus bersambung.

"...Selamat malam, salam kenal, ini penggemar nomor satunya Sayudha. Siapa tahu Sayudha-idolaku-masih berkecil hati karena diolimpiade terakhirnya, dia keluar sebagai juara kedua, aku tulis surat ini untuk alasan itu. Sayudha, sekalipun juara dua, kamu tetap hebat karena bisa bertahan sekonsisten itu. Coba lihat ke cermin, apa yang kamu lihat? Kamu nyaris sempurna! Aku tahu nanti kamu melaju ke olimpiade skala nasional, semoga setelah bercermin dan kamu tahu seberapa hebatnya kamu di masa lalu maupun sekarang, kamu kembali jadi dirimu lagi. Yang penuh percaya diri, yang nggak takut gagal..."

Sesuatu berpendar terang dari dalam sekotak ruang mungil yang ditinggali Sayudha setiap malamnya. Lebih terang dari lampu kamarnya-itu riang gembira hatinya yang nyala terang sekali.

"...kamu harus berdamai dengan yang namanya kegagalan. Sekali gagal, bukan berarti kedepannya nasibmu bakal sama. Sayudha, aku punya saran. Sebagai penggemar beratmu yang nggak pernah mau lihat kamu redup, seandainya kamu ketemu kesulitan, ketawa ya. Suatu masalah nggak akan terasa terlalu berat kalau kamu berusaha usir pakai tawamu. Ketawain aja nasibmu setelah kamu puas menangis," Sang presenter radio terkekeh kecil, "Wah, ini tips bagus dan mesti dicoba. Sebentar, masih ada satu paragraf lagi, teman-teman..."

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now