20. Problematika Remaja Biasa

74 15 13
                                    

Merasa ragu untuk percaya pada semesta, sebab sepemikiran Kiyesa, apa bedanya antara berteman dan berpacaran?

Terikat status teman saja, rasa-rasanya Sayudha menunaikan perannya yang dulu dengan berlebihan. Dia terlampau banyak menaruh atensi pada Kiyesa. Terlalu banyak pula takar cemasnya bilamana gadis yang mendiami rumah nomor 7 ini ditegur bumiraya lantas menjadikannya sosok yang rentan meneteskan air mata. Teman ; terlibat dalam satu rasa. Begitukah Sayudha meringkas arti teman? Teruntuk saling mendampingi kendati diri sendiri seringkali tersakiti? Kalau iya, mereka jelas bukan sepasang teman.

Bukan cemas apalagi gelisah. Hanya saja, Kiyesa merasa bertanya-tanya, apa yang sekiranya akan segera dilakukan Sayudha selepas tersepakatinya janji untuk menorehkan kisah asmaraloka bersama mulai hari ini.

Sayudha anak rajin tapi tak pernah bersikap terburu-buru sebab telah ia tata segalanya sebelum tenggat menjelang.

Arimbi yang tengah mengaduk lembut sup tahu dalam kobaran api kecil kompor, menoleh sepintas manakala Sayudha urung mengguyur diri padahal sudah sempat ia mengunjungi kamar mandi. Alisnya terangkat sekejap. Bertingkah macam apa lagi si bungsu sampai-sampai sikat gigi tertanam di mulutnya ketika tangannya sibuk mencari sesuatu dari dalam lemari es?

"Mau sikat gigi atau makan? Pilih salah satu aja." Arimbi menegur sesaat setelah dia memutuskan untuk mengabaikan Sayudha.

"Bunda kemana?"

"Istirahat. 15 menit yang lalu katanya badannya kurang enak. Kamu coba ke kam—"

"Oke!"

"Sa!" Arimbi menyebut nama si bungsu lantang-lantang sewaktu adiknya berlari menuju pintu rumah, bukan malah pintu kamar ibunya. "Sayudha! Mau kemana?!"

Sikat gigi yang dibiarkan teronggok dalam mulutnya, membatasinya untuk berkata-kata. Itu kenapa—lagi-lagi—Arimbi harus menerima nasib malangnya sebab terlalu sering diacuhkan sang adik.

Tergenggam sekotak susu melon yang baru saja ia tarik dari dalam lemari es. Kaki-kaki panjangnya menyusur tanah dengan tangan kiri yang sesekali menjadi mesin untuk menggerakkan sikat gigi dalam mulutnya. Tubuhnya meliuk tajam di tikungan, pun melompati pagar yang sama semalam.

Hari pertama jadian, tapi si tuan pacar yang rasa percaya dirinya tidak bisa diadu dengan apapun, berani sekali berkunjung dengan muka bantal dan surainya yang serupa sarang burung. Manakala ia temukan jendela kamar milik Kiyesa terbuka lebar lengkap dengan tirai yang sudah lama tersibak, senyumnya menyapa seisi bumiraya dengan hati paling hangat yang pernah ia punya.

Pukul enam dan sang penunggu kamar belum membuka mata. Sayudha melipat tangannya di teralis jendela, sesekali kelepasan menderaikan tawa kecilnya selagi ia amati gaya tidur sang gadis yang sempurna berantakannya. Bagaimana kisah lengkapnya sampai-sampai separuh tubuhnya nyaris melorot mencium lantai dengan surai kusut menjuntai mengerikan begitu?

Aneh sekali yang namanya cinta. Sebab coba pikirkan. Bilamana Sayudha adalah manusia normal, sepatutnya dia hilang respek pada gadis serampangan ini bukan malah makin banyak takar cintanya.

Dengan kekeh kecilnya, ia tutup ucapan selamat pagi sepihak lewat sekotak susu melon yang ia simpan di teralis jendela. Tubuhnya berbalik, sudah hampir kembali pada rumahnya disaat Kiyesa merasa sesuatu baru saja mengetuk hatinya. Dia menggeliat, matanya terbuka hasil dari juangnya yang luar biasa. Terduduk sebentar barang mengumpulkan nyawa sebelum tersaruk-saruk menyeret kakinya sampai ke jendela dengan setengah sadar.

Matanya menyipit. "Oh? Siapa yang taruh susu melon disini?"

Kepalanya melongok keluar lantas tersihir tubuhnya manakala ia jumpai Sayudha tengah berdiri kokoh dengan sikat gigi yang semula menyumpal mulutnya. Entah kapan dia sempat membenahi diri sampai berhasil menyambut Kiyesa dengan senyum hangatnya sementara si gadis membeku. Kurang dari tiga detik, Kiyesa memekik kecil. Menoleh sebentar kepalanya ke arah cermin, lantas matanya membulat lebar-lebar dengan nyawa yang terkumpul sepenuhnya akibat tampil kacau figurnya sendiri.

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now