23. Sekotak Cokelat Pahit

73 15 6
                                    

Katanya rumah, tapi kalau tidak tersedia kotak-kotak bahagia di dalam sana dan seringnya meriah sebab perayaan luka setiap harinya, apa masih pantas disebut begitu? Dibagian mana Sayudha bisa menyembunyikan diri sebatas untuk berlindung dari hujan...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Katanya rumah, tapi kalau tidak tersedia kotak-kotak bahagia di dalam sana dan seringnya meriah sebab perayaan luka setiap harinya, apa masih pantas disebut begitu? Dibagian mana Sayudha bisa menyembunyikan diri sebatas untuk berlindung dari hujan peluru lisan yang pahit?

Sayudha pulang tidak untuk menyakiti dirinya. Pulangnya ia untuk berteduh dari semrawutnya semesta di luar sana, tetapi terasa menggelitik perut ketika yang menyambut ketibaannya justru sepotong adegan menyayat hati. Kepulangan Laskar bahkan terdengar seperti kabar buruk. Disaat waktu tidak bersahabat, dia mengukuhkan pundak, menegarkan dada bahwa segalanya baik-baik saja.

"Sebegitu susahnya kamu nurut apa kata Bunda?! Berhasilnya kamu nanti pun buat kamu sendiri! Bunda keras mendidik kalian bertiga biar kalian jangan sampai dididik dunia dengan cara yang lebih keras dari ini. Tapi kenapa kamu, anak paling dewasa, nggak bisa ngerti apa tujuan Bunda?! Sebegitu susahnya?!"

Sayudha sekonyong-konyong menghambur manakala tangan kanan bundanya sudah mengudara, terancam mendarat perih dirahang Laskar. Lengan kokohnya merengkuh ringkih tubuh sang Bunda, sedikit keras terjang peluknya sampai berakibat pada terhuyungnya Bunda.

Si anak tengah-Arimbi-tidak terjamah oleh mata semua orang dikala meledaknya amarah nyonya rumah. Bisa jadi dengan kebetulannya, dia terjebak macet atau terpaksa menunaikan tugas tambahannya. Bisa jadi Arimbi menolak pulang sebab sudah tergambar jelas situasi kacau semacam ini dibenaknya.

"Bunda, gagalnya Abang hari ini bukan berarti dia nggak punya pintu lain buat jadi orang berhasil dimasa depan nanti."

Bundanya yang terus menghukum anak sulungnya lewat tatap mata penuh luka itu, tidak menyahut semata-mata agar gelegak amarahnya tidak turut menyiprat pada Sayudha. Pun si bungsu, kendati tidak ia tatap mata sang Bunda, perasaannya akurat sekali bahwa akar penyesalan ini masih tertanam kuat. Bukan deritanya Sayudha tapi Laskar pun bermain dengan peran besar dalam hidupnya. Dia yang suka diajak bertengkar, sebetulnya mendiami tempat istimewa dipojok hati mungil milik si adik bungsu.

"Aku bakal berusaha sebisa mungkin di olimpiade nanti, jadi, Bunda, tolong jangan marah-marah lagi biar aku bisa fokus."

Sayudha mendekap erat bundanya. Suara rendahnya melirih dibungkam pundak sang Bunda manakala ia rasakan telah jatuh segepok beban baru yang beratnya luar biasa. Kalimat itu, janji manis itu, Sayudha tidak pernah berencana melisankan dengan mulutnya sendiri sebab jiwanya tersiksa hanya karena patah kata mengerikannya barusan. Terpojok bukan suatu penggambaran situasi yang indah, malah sebaliknya yang lantas menuntun Sayudha mengorbankan dirinya sendiri kendati luka menantinya dengan kisah yang masih mengambang.

"Nggak peduli kamu mau kemana, jangan kesini."

Siapapun pendengarnya tahu pasti kalimat beracun itu tertuju untuk si pendosa—bukan Sayudha. Laskar, manusia yang kurang beruntung beberapa hari terakhir ini, ditolak presensinya untuk pertama kalinya. Biasanya penghuni rumah nomor 11 menolak kepergiannya tapi mungkin masa-masa itu sudah mencapai tenggat kadaluwarsanya hari ini. Gagalnya yang pertama kali saja sudah sebegini nestapa, bagaimana bila bertamu lagi gagal yang lain? Sampai saat itu, seberapa parah ledak amarah bundanya?

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now