08. Pada Siapa "Jatuhnya" Tertuju?

229 48 9
                                    

"Ki! Dicariin Biru!"

Arti serupa apa yang bisa Kiyesa tangkap dari sepenggal kalimat itu? Diudarakannya saja bukan dari birai si empunya nama, yang katanya mencari seorang Kiyesa. Kawan baiknya yang bilang begitu disusul dengan kekeh tawanya. Pantas-pantas saja bagi Kiyesa untuk meragukan pernyataan tak berdasar barusan.

Biru yang barusan disebut kawannya, lahir dari rahim seorang ibu lembut hati dan seorang ayah yang sukanya dipanggil bapak polisi. Sebatas lelucon picisan kah atau memang ada arti serius yang tersembunyi dari kalimat yang kedengarannya mirip guyonan itu? Kiyesa tidak tahu sama sekali.

Jauh sekali antara dia dan Biru. Bertukar sapa saja nyaris tidak pernah, kecuali bila semesta memaksa. Poin pertama, sudah pasti karena Kiyesa dilahirkan dengan gen pemalu yang terlalu penuh mengisi dirinya. Poin kedua, sebab Kiyesa nol nilainya bila menyangkut berkonversasi dengan lawan jenis. Terkadang dia risih, terkadang juga gerogi.

Lantas tahu-tahu, salah satu sohib karibnya berceloteh hampir tidak masuk di akal? Tidak perlu ditanya, Kiyesa tahu. Ini lelucon kan? Tidak sepatutnya ia masukkan ke dalam hati dan menyimpan nama Biru dalam benaknya.

Begitukah? Kiyesa, menurutmu begitu?

Terjadi tanpa seizinnya, Biru mengambil bagian lebih banyak dalam matanya dari yang dulu. Kalau kalimat yang sempat ia tafsir sebagai guyonan biasa itu dasarnya untuk membangkitkan derai tawa, maka tidak seharusnya kalimat yang sama persisnya mengudara di hari-hari berikutnya. Melekat begitu saja dalam benak Kiyesa meski dia sendiri tidak bermaksud menyimpannya. Dia mulai bertanya-tanya tanpa pernah terungkap bingung yang menyergapnya secara sempurna.

Suatu hari, jauh sekali dari yang pernah diterka-terka, ujian sejarah waktu itu, tanpa disangka-sangkanya telah menyatukan Biru dan Kiyesa dalam satu bangku yang sama. Jangan ditanya bagaimana keduanya melewati suasana. Biru lebih banyak mengunci mulutnya, jauh berbeda dengan Biru yang banyak omong kala bertukar senda gurau bersama teman-temannya.

Dia berisik. Selayaknya anak laki-laki yang malas membebali otaknya dengan materi yang segera diujikan besok harinya, dia kelimpungan mengumpulkan jawaban. Ke belakang, ke samping, atau bertukar bulatan kertas yang bila dibuka, isinya selarik jawaban soal ujiannya. Padahal terduduk Kiyesa di sampingnya. Si tukang malu yang namanya pernah bertengger diperingkat kedua.

Kiyesa terlampau peka. Biru mungkin enggan menodongnya jawaban. Biru mungkin sungkan karena Kiyesa rupanya tidak lebih dari seorang gadis yang membosankan. Kiyesa terlampau mengerti dirinya sendiri. Canggung sekali rasanya sampai-sampai dia tidak mampu berkata-kata sebatas untuk menyumbangkan satu-dua jawaban untuk Biru.

"Ada penghapus?"

Kiyesa bergeming. Kepalanya menoleh pelan, takut barangkali kalimat tanya barusan tidak tertuju untuknya. Ternyata tidak, dia salah. Ada Biru yang tengah menatapnya dengan sabar menanti jawab darinya.

"O-oh, ada."

Tangannya bertindak sedikit heboh hanya karena berusaha memenuhi pinta Biru. Tingkahnya menimbulkan bunyi gemerisik sebab ia lebih ceroboh dari biasanya. Manakala tangannya sibuk mencari-cari benda mungil yang mesti ia temukan segera, Biru tanpa sengaja menyaksikan seberapa banyak soal yang berhasil dilewati gadis di sampingnya.

"Nomor 25, jawabannya C."

Bicaranya pelan sekali, namun cukup memburaikan atensi Kiyesa yang semula tengah mencari sebuah penghapus sialan yang sampai sekarang belum ia jumpai dalam tempat pensilnya.

Kiyesa menunduk. Sekitar setengah menit yang lalu, baru saja ia percaya pada opsi B untuk menjawab soalnya yang ke-25. Pun baru ia tandai sebelum Biru berkata begitu. Kiyesa menimbangkan sekali lagi ketika pada akhirnya berhasil ia temukan penghapusnya.

Meet Me At The WindowWhere stories live. Discover now