Lari dari Masalah

5 1 0
                                    

Rosie Pepperwhite kesal sekali. Dia kesal karena mendadak neneknya memberitahunya hal yang sama sekali tidak masuk akal. Dia juga kesal karena Catherine memberinya tugas paling bodoh—menurutnya—apalagi kalau bukan menggosok pantat kuali yang terkena jelaga. Dia pun juga kesal karena, jika benar ayah dan ibunya meninggalkannya di depan pintu untuk menyelamatkan nyawanya, dengan menitipkan anak seperti dirinya kepada wanita tua yang kesepian—siapa lagi kalau bukan Nenek, maka mereka salah besar, karena di saat-saat seperti ini, bahaya yang dibicarakan Nenek bisa saja datang.

Hal lain yang mengganggu Rosie adalah—selagi masih menggosok pantat kuali—apakah dia juga memiliki kekuatan sihir? Jika benar begitu, mengapa dari dulu dia tidak mengalami sesuatu yang menakjubkan. Yah, misalnya bisa membersihkan piring hanya dengan menjentikkan jari, atau mengumpulkan telur-telur ayam tanpa susah-susah pergi ke kandang... hal inilah yang mengganggu pikirannya. Satu hal lagi, yaitu buku warisan yang diberikan Nenek kepadanya. Sampai detik ini pun dia tak pernah bisa mengerti apa gunanya. Judulnya pun—kalau neneknya sendiri tidak tahu artinya, maka dia pun juga tidak tahu.

Rosie akhirnya menyerah untuk berpikir. Dia meletakkan kuali yang selesai digosok ke atas rak, lalu sembari menarik bagian bawah gaunnya agar tidak terserimpet tangga kayu, dia naik ke kamar. Buku tua itu tergeletak di atas tempat tidurnya. Rosie memandanginya dengan bimbang sambil duduk di dekat jendela.

"Aku tidak mengerti apa maksud Nenek memberikan buku ini padaku," katanya pada dirinya sendiri. "Mengutip kata-kata Nenek, mana mungkin aku bisa membuka buku ini, kalau aku saja tak punya kuncinya. Kalaupun aku bisa membukanya, apakah mungkin pula aku bisa membaca isinya? Bahasanya saja tidak kupahami."

Rosie mendekat mengambil buku itu, mendekatkannya sampai berjarak dua puluh senti dari wajahnya, lalu melemparnya kembali ke atas kasur.

"Rongsokan!" katanya. Lalu ia sendiri merebahkan dirinya di atas kasur, meniup rambut yang menutupi dahinya. Rosie memandangi langit-langit kamarnya dengan pandangan kosong, sebelum tiba-tiba teringat mimpinya semalam.

Pasukan berkuda... panah yang menembus baju zirah... darah di mana-mana...

Mimpi itu sekarang benar-benar jelas tergambar di otaknya. Nyaris seperti memori, tapi dengan kesamaran yang sulit dipahami. Tapi mimpi itu seolah juga nyata, seperti—seperti memori. Rosie tidak tahu harus menyebutnya apa. Bagaimanapun caranya, dia tetap bisa mengingat mimpinya kali ini. Berbeda dengan mimpi-mimpi pada umumnya, yang bisa dilupakan orang sepenggal demi sepenggal. Mimpi ini terus tergambar di pikirannya secara bertahap, lalu menghilang secara bertahap pula. Rosie mengusap wajahnya dengan putus asa.

"Aduh, kalau begini caranya aku bisa gila," dia membatin. "Kira-kira apa sih yang ingin disampaikan kepadaku melalui mimpi ini?"

Tiba-tiba telinganya menangkap bunyi aneh, seperti desingan kecil. Rosie melompat dari tempat tidur, celingukan ke sana kemari mencari sumber bunyi itu.

Zzzziiiing...

Begitu bunyinya terdengar lagi, gadis itu pun kembali terlonjak. Bunyi itu ternyata berasal dari buku tua di sebelahnya. Rosie menatap buku itu dengan ngeri, lalu mundur selangkah demi selangkah hingga mencapai tembok.

Buku tua itu mendadak terjatuh dari kasur, dan sampulnya yang sudah carut-marut dimakan usia bergetar seperti menggigil. Tiba-tiba pula huruf-huruf pada sampul tua itu bergetar dan mengeluarkan cahaya kuning yang menyilaukan, lalu huruf-huruf itu melayang satu per satu, keluar dari sampul bersama cahaya menyilaukan itu. Kata-kata MAGNU WECHT OU MAGNU BOSK awalnya masih terbentuk rapi, sebelum satu per satu berpusing di tempat, lalu saling bertukar posisi, dan akhirnya tergambarlah kata-kata dalam bahasa Anglice:

GREAT BOOK FOR GREAT WIZARDS—artinya 'buku besar untuk penyihir besar.'

Rosie mengamati judul buku tersebut kembali pada tempatnya, lalu sinar yang menyilaukan itu padam. Gadis itu, masih tidak percaya, meraba bagian sampul buku. Ajaib, sampulnya yang tadinya penuh carut marut berubah menjadi mulus, seolah buku itu baru saja dibeli dari toko. Ketika jemari Rosie menyentuh gembok, buku itu kembali bergetar, lalu tulisan pada judul berpusing di tempat, membentuk kata-kata baru:

MAHKOTA BERDURITahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon