Mimpi dan Merlin

5 0 0
                                    

William menuju ke kebun di mana sang paman, Lord Nicholas, sudah menunggunya. Wajah pamannya itu, yang sudah memasuki kepala lima, terlihat galak namun tetap ceria. Menyiratkan bahwa yang dia ingin sampaikan tak lebih dari sekadar basa-basi, namun juga patut diketahui. William membungkuk sambil mencium tangan pamannya, yang juga perdana menteri tersebut.

"Salam, Pangeran Muda," kata Lord Nicholas sembari menyibakkan rambut pirangnya dari dahi. "Well, hari ini cukup cerah. Aku tadinya ragu, apakah kau terlalu sibuk untuk kupanggil kemari? Karena aku sendiri tak yakin ingin memanggilmu kemari atau tidak."

"Ehm, sebenarnya itu kan kewajibanku, Paman," kata William. "Bagaimanapun, sesibuk apapun, aku harus tetap mematuhi perintahmu, bukan? Paman tetaplah pamanku."

"Begini, William," kata Lord Nicholas, setelah menimbang-nimbang, "kursi kepemimpinan Dungeon kini sedang kosong. Artinya, pamanmu ini punya dua tugas. Raja telah memutuskan Lord Gawain diangkat sebagai wakil perdana menteri. Pilihan yang tepat, karena Lord Savoy tua sudah berencana ingin mengundurkan diri. Nah, itu berarti Gawain sekarang membawahi para petinggi kerajaan, terutama Lord Hammerwich dan Lord Chiselwyn. Kekurangannya, selama ini Gawain belum pernah berurusan dengan politik. Walau demikian, aku yakin dia mampu menyesuaikan diri dengan cepat."

"Jadi, Paman hanya mempermasalahkan Lord Gawain, begitu?" tanya William.

"Oh, sama sekali tidak. Justru aku ingin menanyakan hal yang berkaitan dengan ini padamu," kata Lord Nicholas. Matanya memandang ke arah air mancur kerajaan yang dihiasi patung berbentuk seekor satyr yang sedang memainkan seruling, yang mengucurkan air dari kedua telinga dan tanduknya, ujung seruling, serta ekornya yang bercabang tiga. William mendengar desah napasnya yang berat.

"Nah, Pangeran," kata Lord Nicholas akhirnya, "bagaimana menurutmu?"

"Bagaimana apanya?" tanya William kebingungan.

"Patung itu," jawab sang paman. "Apa pendapatmu?"

"Well..." kata William sembari menggigit-gigit bibirnya. Dia bingung harus menjawab apa. Sementara otaknya sendiri masih dipenuhi isi buku yang baru saja dia baca di perpustakaan. "Ehm, aku tidak tahu, Paman... mungkin karena ekornya... kenapa harus bercabang tiga?"

"Kau yakin hal itu bermasalah?" tanya Lord Nicholas.

"Eh... tidak juga... maksudku, Paman, apa lagi yang salah dari satyr itu kecuali cabang ketiga dari ekornya yang lebih mirip ekor tupai?"

Lord Nicholas terkekeh. "Coba lagi. Bukan itu yang pamanmu maksudkan."

Walaupun biasanya William termasuk orang yang tenang dan berpikiran luas, namun kali ini dia sama sekali tak bisa menemukan apapun yang aneh yang dimaksud pamannya. Bukan ekornya, lalu apa lagi? Tanduk, telinga, maupun bentuk tubuh si satyr batu terlihat biasa. Tak ada lagi yang aneh kecuali ekornya yang sepertinya salah penempatan. Tak seharusnya si pematung memasangkan satu ekor mirip ekor tupai sebagai ekor si satyr, yang merupakan makhluk setengah-manusia dan setengah-kambing. Pamannya masih sabar menunggu. Mulutnya membentuk seulas senyum yang semakin membingungkan William.

"Kau menyerah?" tanya Lord Nicholas setelah matahari semakin turun dan William tak kunjung menemukan jawabannya.

"Ah, Paman mengada-ada! Kita hanya menghabiskan waktu menerka-nerka keanehan patung itu," kata William sambil menjambak-jambak rambutnya dengan jengkel.

"Kalau kau menyerah, biar kuberitahu," kata sang paman. "Kemarilah, William, fokuskan matamu. Tak ada yang salah dengan ekor menyerupai tupai. Tapi, apa kau bisa melihat, bahwa telinga si satyr berbeda posisinya?"

William memicingkan mata. Ya, benar! Telinga satyr itu berbeda! Satu telinganya mencuat ke atas, sementara satu telinganya yang lain agak ke bawah. Perbedaan yang begitu tipis sehingga tak mudah diamati orang.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now