Pavillion

4 0 0
                                    

Suasananya terasa kurang menyenangkan. Rosie berkali-kali bergidik, bukan karena kedinginan, tapi karena aura mistis tersembunyi sepanjang jalan setapak itu. Puddlepot tidak bicara selagi melompat-lompat di sebelah Rosie. Ia bahkan terlihat gelisah dan mencium-cium udara. Kabut yang tebal menutupi pandangan mereka, meskipun hari terhitung sudah siang, tapi Rosie tidak bisa melihat satupun cercah cahaya matahari, maupun sepetak kecil jatuh di hadapannya. Ketika ia melihat bayangan hitam seperti gunung berpuncak miring yang menjulang di depan, jantungnya seolah meloncat keluar dari rongganya. Puddlepot langsung mencengkeram ujung mantel Rosie, bersembunyi di baliknya.

"Itu," katanya setengah mendesis, "adalah pavillion."

"Pavillion itu apa?" tanya Rosie, matanya memicing, memandang penuh ingin tahu sesuatu yang ternyata menara-menara tinggi. Sementara yang dikiranya gunung dengan puncak miring ternyata atap yang sudah keropos dimakan usia. Dindingnya yang berbau apak, pengap, dan berlendir terbuat dari batu-batu kali yang disusun tidak beraturan. Tidak ada suara-suara lain kecuali suara angin yang mendesis melalui rongga bebatuan itu. Menimbulkan kesan angker. Puddlepot menggigil sambil merapatkan keempat kakinya.

"Semacam... eh... istana," ujar si kelinci, kumisnya bergetar. "Kau punya pendapat lain?"

Belum sempat Rosie berbicara, terdengar bunyi besi beradu dengan roda-roda berkarat, berkeriut dan mendesing, tahu-tahu di hadapan Rosie sudah ada jembatan kayu yang terbentang, mengarah ke pintu masuk pavillion itu.

"Oke, ini ide yang sangat buruk," gumam Puddlepot.

"Aku harus masuk, bukankah begitu?" Rosie bertanya dengan ragu.

"Itu terserah kau," kata si kelinci. "Bukankah sudah kubilang, Raventyr bukan tempat yang cocok untuk bermain-main."

"Kau sendiri kenal dengan bangunan ini, mestinya?" kata Rosie, menatap Puddlepot dengan galak.

"Aduh, kau tahu ingatan kelinci seperti apa," kata Puddlepot sambil mendesah. "Yang aku ingat dari Raventyr hanyalah rumah-rumah petani yang suram dengan lahan yang belum dibajak, pilar-pilar batu tinggi berukir dengan ayam jantan yang berkokok setiap menjelang matahari terbenam. Aneh, memang, tapi soal pavillion ini—aku tidak ingat banyak."

Rosie berpaling pada pintu setinggi dua meter yang terbuka lebar di depan matanya, mengabaikan si kelinci yang meringkuk dengan telinga turun, memohon-mohon supaya dia mengurungkan niatnya. Rosie tahu ini bukan ide yang bagus, apalagi kalau menyangkut bahaya yang akan menimpanya kalau dia tetap masuk ke dalam sana. Tujuannya sebenarnya adalah mencari tahu rahasia keluarga Pepperwhite, bukan mencari bahaya. Tapi, yah, kalau memang sudah takdirnya menghadapi bahaya, kenapa tidak dihadapi saja?

Kakinya yang kecil melangkah perlahan. Maju ke depan dengan penuh tekad. Dia tidak peduli betapa gelap dan lembabnya terowongan di balik pintu itu, bagai terhipnotis, dia tetap melangkah. Puddlepot memanggil-manggil namanya, tapi Rosie tak mau berpaling.

Beberapa detik kemudian, dia sudah berdiri di dalam ruangan gelap gulita. Ketika sadar bahwa tak ada yang perlu ditakutkan, Rosie bersorak girang.

"Well, Puddlepot! Kau kelinci paling penakut yang pernah kutemui!" serunya. "Lihat! Tak ada yang perlu ditakutkan!"

Rosie menoleh ke belakang, tepat ketika jembatan kayu itu kembali tertarik dan berdebum di belakangnya, menutup rapat pintu tadi dengan suara memekakkan telinga. Gadis itu menjerit, menggedor-gedor, dan berteriak-teriak, tapi tak ada gunanya. Pintu itu tak pernah terbuka lagi. Lelah berusaha mendobrak pintu dengan tubuhnya, Rosie jatuh terduduk. Napasnya tersengal-sengal.

"Sial, sial, sial," gumamnya penuh rasa bersalah pada dirinya sendiri. "Bagaimana sekarang? Bodoh sekali!"

Mendadak ada kilatan cahaya, menerobos ruangan yang gelap itu, lalu berlari menyusuri terowongan dan menyalakan obor-obor yang terpancang di dinding. Rosie terkesiap ketika kilatan cahaya itu berhenti di hadapannya, menyadari bahwa cahaya itu semacam bola kecil yang berdesing. Rosie ingat neneknya pernah menyebut bola api itu orb, dan Catherine memanggilnya The Wisp. Satu hal yang bisa diingat dari kedua cerita itu, bahwa bola api itu dapat membawa orang yang melihatnya menuju tempat-tempat rahasia yang tak diketahui orang, bahkan bisa menyebabkan penjelajah tersesat. Untuk saat ini, mempercayai siapapun atau apapun menjadi tantangan terbesar Rosie Pepperwhite muda. Ia terlalu takut kalau-kalau tersesat, namun ia juga terlalu berani untuk mengurungkan niatnya.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now