Pintu Tersembunyi

4 0 0
                                    

Rosie menguap dan menggeliat. Dia semalaman penuh tidur di atas dahan pohon oak yang tingginya seratus tiga puluh sentimeter dari atas tanah. Dia menggosok-gosok mata untuk memastikan kelopaknya benar-benar terbuka, dan ketika mencobanya sedikit, dia mengerjap kembali karena sinar matahari yang merambat melalui ranting pohon besar itu terasa menyilaukan. Rosie melompat turun, lalu mencuci mukanya di sungai terdekat. Saat dia menggeliat lagi, dia sadar ada benda tajam yang menusuk-nusuk lehernya.

Ternyata benda tajam itu kalungnya. Rosie mengeluarkannya dari atasan berkerahnya untuk menghindari peristiwa yang sama terulang lagi. Kalung berbandul batu putih tersebut talinya lembab terkena keringat. Tapi Rosie sendiri tidak bisa ingat penyebab dia bisa berkeringat, sementara dia kemudian sadar akan satu hal yang paling penting: dia lapar.

Semalam, Rosie hanya ingat dia sudah berjalan beberapa mil dari desa. Dia bisa melihat Riverway di balik jalan berkelok-kelok yang menuju bukit tempat dia beristirahat dari atas pohon. Rasanya tidak percaya saja—kok berani-beraninya sih dia meninggalkan rumah? Sendirian, lagi! Rosie lalu duduk di bawah pohon sembari mendengarkan cicit burung—mungkin pipit atau sejenisnya—yang dengan gembira melintasi dahan demi dahan tak berdaun. Rosie menggelar peta yang dia bawa, lalu membuka bekal di atasnya. Biarpun lupa tidak membawa selai dan mentega, dia memaksa menjejalkan roti gandum yang keras ke dalam mulutnya yang kering. Dia makan sambil berpikir. Yah, seperti inilah rasanya, hidup seperti pengembara dalam buku-buku cerita. Bercengkrama dengan angin, berbaring di bawah langit. Hanya saja, Rosie belum pernah memikirkan bagaimana caranya menghemat roti supaya tahan sampai perjalanannya berakhir. Dia lalu memaksa diri untuk kenyang dengan melahap sebutir apel. Setelah minum dari sungai, Rosie melanjutkan perjalanan. Menurut peta, delapan fathom lagi, dia akan bertemu perbukitan yang membawanya menuju Righthampton Lane. Jika melalui jalan setapak dan lurus terus ke Barat, maka dia akan sampai di Raventyr. Bertahun-tahun tidak mengingat satupun tentang tempat itu, membuatnya semakin bersemangat pergi ke sana.

Beberapa kali Rosie mengecek kompas dan arah angin setiap melangkah. Hari itu memang sedikit lebih dingin dari biasanya, meskipun musim gugur selalu dingin. Rosie tidak mengingat satupun tentang ulang tahunnya—yang mestinya dirayakan pagi itu—dan sama sekali tidak mau mengungkit-ungkit apapun tentang rumah selama perjalanan. Bukannya merasa sedih, tapi dia tahu rumah bukan satu-satunya yang akan dirindukan seorang pengembara sejati ketika mengarungi dunia luas. Daun-daun yang kering tertiup angin bergemeresak di bawah kakinya. Rosie tidak mempedulikan betapa jemarinya yang mungil menggigil di bawah mantelnya yang bahkan sudah cukup tebal. Mendekati musim dingin, tak ada yang lebih mengerikan daripada jemari yang membeku. Dia terus berjalan.

Matahari bergerak semakin tinggi ke langit. Yang bisa dilihat Rosie di sekelilingnya hanya lembah tanpa pohon. Sulit dipercaya, di peta menunjukkan bahwa tempat itu dulunya adalah lapangan berburu para raja. Kini lembah itu sepi, tidak ada bunyi lain kecuali desisan angin yang menerpa ilalang tiada berujung. Rosie menenggak sedikit air yang dia bawa untuk menghilangkan hausnya. Tadi, dia sudah mengisi botol itu dari sungai penuh-penuh. Ketika matahari semakin naik, udara mulai terasa lebih hangat. Kaki Rosie juga mulai terasa penat. Meskipun terbiasa berlari-lari dan berkeluyur di pedesaan Riverway, hal itu sama sekali tidak membantu ketika harus berjalan di bawah langit terbuka selama berjam-jam, apalagi bila jalannya tidak rata dan penuh kerikil. Inilah, pikir Rosie, suatu pengalaman yang tak mungkin terlupakan. Demi menghilangkan kejenuhannya, Rosie lalu memikirkan lagu yang bisa dia nyanyikan.

Ya, ada satu lagu, yang pernah sekali dia dapat dari neneknya. Lagu itu kedengaran seperti ini:

"Di kanan permata hijau dari langit ketujuh,

Di kiri permata biru dari dunia baru,

Tempat di mana kita bertemu,

Di mana kita bercengkrama sesuka hatiku,

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now