Awal Dunia Baru

2 0 0
                                    

Gideon merasa tubuhnya sangat ringan. Ketika membuka matanya, dia melihat sekeliling dengan kaget. Dia terbaring di padang rumput yang mirip sekali dengan Padang Selatan. Langit di atasnya begitu biru tanpa awan. Semak-semak dan ilalang menari ditiup angin lembut yang beraroma manis. Terakhir diingatnya, dia tengah berada di menara. Dia bertarung dengan seorang penyihir jahat. Kalau tidak salah namanya Alfendork. Ya, benar, kalau tidak salah itulah namanya.

Kepalanya tidak terasa pusing lagi. Nyeri-nyeri pada tubuhnya seakan lenyap. Dia bangkit dari tanah dengan mudah. Dia memutuskan untuk berjalan. Tidak tahu mengapa dia ingin melakukan itu, tapi dia tetap ingin berjalan. Dia melihat ada kolam kecil di kejauhan. Sadar bahwa ia merasa haus, dihampirinya kolam tersebut. Saat akan minum, ia terbelalak menatap bayangannya sendiri di kolam. Dia mengenakan jubah berwarna biru yang warnanya serasi dengan langit, bukannya mantel kusut dan celana kulit yang sudah kependekan. Sepatu bututnya digantikan oleh sandal kulit lembut yang nyaman. Masih tidak percaya, dia memutuskan kembali bercermin. Betapa terkejutnya dia, karena bukan hanya bayangannya sendiri yang terpantul di kolam, melainkan bayangan seorang laki-laki berjanggut perak dan berjubah hijau zamrud yang sangat mirip Alabaster, kecuali hidungnya yang lebih bengkok dan kepalanya yang botak. Dia juga tidak membawa tongkat. Laki-laki itu tersenyum. Gideon membalikkan badan menghadapnya.

"Apa kabar? Sepertinya kau baru menyadari kehadiranku," kata laki-laki tua itu lembut.

"Well, saya bukannya bermaksud tidak sopan," kata Gideon, "tetapi kalau boleh tahu, sejak kapan Anda berdiri di belakang saya? Tadi saya baru saja akan minum dan—"

"Sudahlah, itu tidak penting," kata laki-laki tua itu. "Gideon putra Gresham, kan? Tidakkah kau mengenaliku?"

"Itulah saya, Sir," jawab Gideon. "Tapi saya tidak mengenal siapa Anda, karena sepertinya kita baru sekali ini bertemu."

"Ah, benarkah?" laki-laki tua itu tertawa. "Kau sungguh tidak mengenaliku? Coba ingat-ingat lagi. Aku yakin kita sudah pernah bertemu belum lama ini."

"Sir, maafkan saya," kata Gideon. "Tapi setahu saya, belum pernah saya bertemu dengan Anda. Kalaupun saya pernah melihat Anda di suatu tempat, itu pasti hanya suatu kebetulan. Saya tidak benar-benar mengenal Anda, atau saya yang terlalu sibuk sehingga tidak menyadari kehadiran Anda—entahlah. Saya baru saja terbangun di tempat ini. Tempat apakah ini?"

"Tempat yang menarik, bukan?" kata laki-laki tua itu. Ia lalu bersiul. Seekor burung berbulu kuning terbang ke arahnya. Di paruhnya terdapat sebutir beri—atau buah semacamnya—yang kulitnya begitu merah dan mengkilap. Burung itu langsung pergi setelah laki-laki tua itu mengambil dan memasukkan buah tadi ke dalam mulutnya. Laki-laki tua itu tersenyum selagi menikmati rasa buah yang menggiurkan itu. "Kau juga mau?" dia menawari Gideon.

"Tidak, terima kasih, Sir," jawab Gideon sopan. Meskipun dia sangat penasaran, seperti apa rasa buah itu. "Saya tidak merasa lapar."

"Kalau kau tidak mengenaliku," kata laki-laki tua itu, "maka kau pasti kenal dengan burung itu. Bukan burung yang tadi, melainkan burung yang membawa pesan kepadamu. Kau tentu mengingat isi pesan-pesan itu, bukan?"

Gideon mengerutkan dahi. Agak sulit baginya untuk berpikir. Entah kenapa, tapi aroma manis di sekitar empat itu membuatnya jadi lupa sebagian dari petualangannya.

"Terus jalan dan temukan," kata laki-laki tua itu sebelum Gideon sempat bicara. "Jalan terus dan tetap bernyanyi."

"Ah, saya rasa saya mulai ingat!" seru Gideon, mendadak kejadian-kejadian itu menghujaninya seperti hantaman meteor. Ia tersadar. "Tunggu sebentar, apakah Anda yang mengirimkan burung pembawa pesan itu pada saya?"

Laki-laki tua itu berdeham. "Yah, seperti yang sudah kuduga. Kau memang terlambat belajar. Tapi soal penguasaan sihir, tampaknya kau cukup handal. Alfendork mengetahui hal itu. Dia sangat ketakutan, seperti yang kuharapkan, tapi dia mencoba menutupi ketakutannya dengan bersumpah bahwa dia akan membunuhmu saat itu juga."

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now