Levitarium

7 0 0
                                    

Alabaster berjalan dengan langkah cepat dan pasti. Tongkatnya itulah yang membuatnya mengenali setiap jalan dan lorong yang dilewatinya. Berbagai macam rintangan seperti batu-batu licin, tajamnya kerikil, dan serangan kelelawar harus dihadapi oleh ketiga pejuang kita; Montgomery, Gideon, dan si pendeta Druid.

Montgomery berjalan paling belakang. Siaga apabila ada serangan lain. Sewaktu mereka melewati lorong berisi kelelawar, Alabaster memberitahu mereka bahwa kelelawar-kelelawar itu jenis penghisap darah, sehingga Montgomery menggunakan pedangnya untuk membantai mereka. Gideon bergidik menyaksikan pemandangan itu, meskipun hanya di bawah cahaya obor Alabaster yang temaram. Lalu, ketika melewati tikungan berisi kerikil licin, mereka harus bekerjasama untuk mencari pijakan. Alabaster melakukannya dengan mengandalkan indra peraba dan penciuman. Tapi seperti pernyataan sebelumnya, bahwa tongkatnya itulah yang mengarahkan ke mana ia harus menuju. Alabaster memimpin dengan penuh pengertian dan kewaspadaan. Dia beberapa kali memberitahu rekan-rekannya mengenai apa yang dirasakan tongkatnya di depan. Kedua rekannya menanggapi dengan patuh.

Setelah melewati rintangan-rintangan dalam gua, para pejuang kita menemukan sebuah tangga dari batu yang membawa mereka menuju sebuah aula besar yang pinggir-pinggirnya disangga oleh empat pilar berukir. Di bawah cahaya obor, Montgomery meraba ukiran pilar tersebut dan menangkap sebuah kalimat dalam bahasa kuno. Dia tidak tahu apa maksud kalimat tersebut disebabkan permukaan pilar yang bocel-bocel dan sudah tertutup lumut. Di dekat pilar-pilar tadi terdapat cawan batu yang berisi minyak, menempel di pilar sehingga kelihatannya dari jauh cawan-cawan itu seperti melayang. Tapi keanehannya bisa ditebak, bagaimana cara merekatkan cawan itu tanpa mengurangi bentuknya yang bundar sempurna tanpa penyangga apapun?

Gideon menatap aula tersebut dengan kagum. Aula tersebut berbentuk bundar, dengan bagian tengah yang dilukis wajah matahari sedang menyeringai. Langit-langitnya berupa kubah dengan lukisan yang mirip peta bintang kuno yang sudah tidak jelas rupanya. Mirip yang terdapat di altar sebuah kuil. Ruangan itu memiliki pintu di timur dan barat yang di atasnya juga terukir kalimat dalam bahasa kuno. Alabaster berhenti dan menarik napas, mengendus udara dalam aula tersebut dan agak terkejut. Segera dia memberitahu kedua rekannya yang masih terpana.

"Tempat ini disebut levitarium," jelasnya pada mereka dengan suara bergema. "Levitarium adalah ruangan khusus dalam kuil-kuil di Anglice sebelum masa modern."

"Seperti ruang pemujaan?" tanya Montgomery, masih mengamati cawan-cawan tadi dengan bingung.

"Lebih seperti ruang besar tempat dilakukannya tarian tradisional," jawab Alabaster. "Seingatku dulu, aku pernah diajak ayahku ke sebuh kuil yang levitarium-nya terbuat dari marmer. Para penari akan dikumpulkan di dalam sini, lalu mereka akan menari sampai waktu pemujaan tiba. Masing-masing kaki mereka harus selalu merapat ke pilar yang diletakkan cawan di masing-masing pilar. Itulah mengapa dinamakan levitarium, karena cawan-cawan itu terlihat seperti melayang. Apabila levitarium akan digunakan, cawan-cawan itu akan disulut sehingga seperti ada empat buah api yang melayang di atas kepala penari. Menurut penciumanku, udara di tempat ini menandakan bahwa dulu sekali di tempat ini pernah dilakukan kegiatan yang sama, tetapi sudah begitu lama. Sekarang ruangan ini dipakai untuk kegiatan lain, entah apa."

"Aku bertanya-tanya, apakah para Gargoyle itu juga pernah ke levitarium," kata Gideon sambil berjalan memutari aula.

Terdengar bunyi samar-samar di luar levitarium. Alabaster menurunkan tongkatnya dengan sikap awas.

"Ada yang datang," katanya. "Merapatlah ke dinding. Akan kubuat agar kita tidak terlihat oleh mereka."

Ketiga orang itu bergegas mencari dinding terdekat. Alabaster lalu mengayunkan tongkatnya. Segera obor di ujungnya padam. Tetapi saat Gideon mencoba menggerakkan kaki, rasanya kakinya seperti menempel ke dinding. Sebelum dia sadar, tangannya juga menempel ke dinding seperti dilem. Saat bunyi langkah kaki semakin mendekat, cawan-cawan di pilar tersulut dan mendadak ruangan menjadi terang benderang. Gideon baru sadar bahwa tangan dan kakinya lenyap, atau memang kelihatannya begitu. Warna kulit dan pakaiannya sekarang menyerupai warna dan tekstur dinding levitarium

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now