Hutan Penuh Misteri

5 0 0
                                    

Kata orang zaman dahulu, jika kita sudah masuk ke dalam hutan, bakal ada sesuatu yang mengawasi kita dari kejauhan. Menurut orang-orang di Moontrose, 'sesuatu' yang mengawasimu itu entah seorang peri atau spectre—sejenis roh jahat—pokoknya pasti ada. Kau hanya perlu berbalik sedikit dan membuka mata batinmu. Tetapi bagi Rosie Pepperwhite yang tidak pernah mendapat pendidikan cukup tentang hutan, sejauh yang diketahuinya, hutan adalah surga bagi binatang-binatang pohon seperti tupai, luak, rubah, dan yang paling berbahaya—serigala. Dia berjalan paling depan. Dia memasang telinga, kalau-kalau si tupai kembali muncul. Salju terasa lembut dan dingin di bawah sepatunya. Dia merapatkan mantel kuat-kuat karena udara dingin. Dia juga mencengkeram erat almanaknya. Uap keluar dari mulutnya selagi dia bernapas.

William yang sudah lama tinggal di hutan bersama para pemburu memandangi sekelilingnya dengan awas. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu tentang hutan itu, tetapi tidak menemukan kata-kata yang pantas. Hutan itu semakin lama semakin mencekam. Dia mendapati semakin jauh mereka bergerak ke dalam hutan, maka hawa akan semakin dingin dan membeku. Bunyi gemerisik disertai jatuhnya salju dari atas dahan pohon ek membuat William berjengit. Si tupai berlari-lari kecil menuruni dahan lalu berhenti di hadapan Rosie. Hidungnya bergerak-gerak dan mata hitamnya berbinar-binar.

"Dia pasti punya maksud tertentu," kata William curiga.

"Aku tahu," sahut Rosie sambil berlutut. Salah satu tangannya yang bebas mengelus kepala si tupai dengan lembut.

"Hei, teman kecil," katanya riang, "ke mana kau akan membawa kami?"

Si tupai kecil tidak menjawab. Dia bergegas naik ke atas pohon lagi, lalu dengan suara gemerisik yang menjatuhkan salju, dia menghilang diantara ranting yang gelap.

"Ayo!" kata Rosie, menggamit tangan William mengikuti tupai itu. Raut wajah William mengisyaratkan ketidaksetujuan. Namun langkah Rosie menjadi lebih cepat daripada sebelumnya, seperti halnya si tupai, yang bergerak semakin cepat. Sekarang mereka harus berhati-hati karena salju yang licin dan tebal membuat kaki mereka tersandung-sandung. Napas William terdengar putus-putus, tapi Rosie tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Bagai dihipnotis kekuatan yang tidak tampak, dia mengikuti si tupai tanpa bicara. 

Deretan pohon semakin bertambah rapat. Nyaris tidak ada celah diantaranya untuk bergerak bebas. Salju turun semakin deras disertai angin tipis yang membuat telinga berdesing, tetapi Rosie tidak mau menyerah. Dia terus mengikuti si tupai meskipun harus menyusup diantara pepohonan. Ketika pohon-pohon yang rapat mulai merenggang sedikit, William menyadari bahwa mereka sudah sampai di jantung hutan itu sendiri. Mereka berhenti di sebuah dataran landai, yang di tengah-tengahnya cekung mirip mangkuk. Bunyi gemerisik yang ditimbulkan si tupai tidak terdengar lagi. Suasana menjadi hening secara mendadak.

"William!" teriak Rosie. "Lihat ke atas!"

Mereka langsung menyadari sesuatu yang janggal. Tidak ada salju yang turun. Tempat itu sedikit terbuka, namun bagai dinaungi suatu tameng di langit yang membuat saljunya tidak jatuh mengenai mereka. William dan Rosie berdiri di sana, berdua. Mereka tidak memandang satu sama lain. Pikiran William tentang tempat itu saling berpadu dengan rasa takut dan kecemasan Rosie yang berbuah keingintahuan besar. William menatap pohon di sekelilingnya yang berbaris seperti serdadu menjaga benteng istana. Mereka tidak lebih keriput dari pohon ek, batangnya kurus tapi tidak mirip birch, bahkan kayunya tidak mirip jenis kayu pada pohon ash. Rosie jauh lebih memahami perasaannya sendiri. Dia melompat-lompat kegirangan.

"Sudah kuduga!" serunya bergairah. "Ini hutan ajaib!"

"Kau boleh menyebutnya demikian, tapi aku mencium sesuatu yang tidak beres pada hutan ini dan itu kau tidak bisa sekedar menyebutnya 'ajaib,'" kata William, tangannya sudah mencabut pedang dari sarungnya.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now