Hari Keempat

6 0 0
                                    

"Bangun, Putri Tidur! Bangun!"

Rosie merasa hidungnya tergelitik sesuatu yang tipis dan mirip ijuk. Ia terhenyak bangun dan langsung bersin-bersin. Sebelum sempat menyeimbangkan diri, Puddlepot si kelinci sudah melompat ke dalam pelukannya. Rosie mendapati dirinya berada di kamar dengan tembok berwarna krem yang berjendela lebar. Dia berbaring di atas sebuah kasur dengan selimut berwarna hijau keemasan menutupinya. Baju kerajaan mewahnya digantikan oleh gaun tidur berwarna putih yang sederhana.

"Syukurlah, akhirnya pahlawan kita siuman!" si kelinci berseru kegirangan. "Duh, kami takut sekali kau mengalami trauma parah, tapi untung saja kau baik-baik saja. Dasar tukang cari gara-gara!"

"Puddlepot, sudahlah!" kata Rosie, tak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa. Entah mengapa, dia merasa geli.

"Pingsan selama tiga hari penuh! Dan sekarang hari keempat!" Puddlepot terus ngedumel. "Betapa beruntungnya dirimu!"

Mata Rosie melebar. "Hari keempat? Hal-hal apa saja yang kulewatkan?"

"Well, kehilangan dua puluh orang prajurit sementara sisanya luka-luka menjadi duka tersendiri bagi Kastil," ujar Puddlepot. "Rumah penyembuhan sampai penuh sesak, sehingga akhirnya prajurit Dungeon yang tidak terlalu parah lukanya harus dipindah ke beranda. Hari-hari berjalan dengan lambat dan memilukan, tapi tentu saja duka paling mendalam dirasakan oleh Raja Herbert. Sang putri—Camelia—baik-baik saja, tapi tidak dengan ayahnya. Dia depresi—dan kau tahu apa artinya itu. Artinya buruk sekali. Buruk untuk dia."

"Bagaimana dengan William? Dan para pemburu? Dan—?" Rosie hampir mengatakan 'Edward,' tapi kemudian dia sadar. Mencemaskan anak laki-laki itu tidak ada gunanya, karena selama perang berlangsung, Edward selalu bersamanya.

"Dan... siapa lagi?" tanya Puddlepot, berusaha memancing.

"Yah... well... mereka baik-baik saja, bukan?"

"Tentu, tentu," kata si kelinci, manggut-manggut dengan cepat. "Nah, kalau kau sudah siap berjalan, sebaiknya kau ikut denganku ke bawah. Ada setumpuk wortel, tomat, dan sup hangat yang lezat."

"Aku sudah siap berjalan!" kata Rosie sambil melompat turun dari kasur.

Di koridor, Rosie berpapasan dengan seorang pelayan wanita yang membawa setumpuk bantal.

"Oh, Nona Pepperwhite!" pelayan itu memekik girang. "Anda sudah siuman! Untung kita bertemu di sini! Putri Camelia mencari Anda. Katanya, 'Bilang pada Rosie Pepperwhite supaya menemui aku di balkon menara barat.'"

"Kalau begitu aku segera ke sana," kata Rosie.

Puddlepot menyodok betisnya. "Hei, kau yakin tidak mau makan dulu?"

"Nanti aku menyusul," Rosie meyakinkannya. "Apapun yang ingin dikatakan Camelia, aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu yang penting."

Si kelinci mengangguk. "Akan kupastikan mereka menyisakan sup untukmu."

Rosie ingat dia pernah ke balkon barat sebelumnya, tapi lupa sebagian jalan menuju ke sana. Setelah beberapa kali berhenti dan bertanya pada pengurus kastil yang lalu-lalang, dia akhirnya menemukan tangga sempit yang pernah dia lalui. Tangga itu—baginya—terlihat sedikit lebih lebar sekarang. Mungkin ketika dia mendaki bersama Edward waktu pertempuran berlangsung, suasananya begitu mencekam sehingga tangga itu terasa sempit dan curam. Rosie tiba di balkon dan melihat Camelia berdiri di sana sambil mengobrol dengan Edward, dilatarbelakangi padang bersalju di luar tembok yang masih penuh sisa-sisa pertempuran; anak panah berserakan, helm-helm prajurit yang pecah, serta batu bata yang lepas dari tembok. Sang putri mengenakan gaun putih dengan rok berenda. Rambutnya yang hitam dibentuk sanggul tinggi. Sebuah tiara perak melingkar di dahinya. Edward mengenakan tunik biru dengan rompi dan celana kulit. Penampilannya itu bakal membuat Rosie pangling—kalau saja dia menyisir rambut pirang pasirnya yang awut-awutan. Camelia langsung menyadari kedatangan Rosie; dia menoleh sambil tersenyum. Edward juga melakukan hal yang sama, tapi senyumnya lebih seperti seringai mengejek.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now