Kabut Asap

4 0 0
                                    

Gideon menguap. Pagi yang cerah di lembah hijau, pikirnya. Matahari sudah naik sedikit ke atas horizon, tapi belum terlalu silau. Udara lembah yang dingin membuat tengkuknya membeku. Saat mencoba menggerakkan tangan kirinya, rasanya sakit. Dia baru sadar bahwa tadi dia tidur sambil menindih tangan kirinya tersebut. Dia juga lupa melepas pedang, akibatnya gagang pedang yang keras menekan pinggangnya, sehingga memar dan terasa nyeri. Gideon menguap lagi, lalu mendadak ingin kembali tidur. Tapi dia memaksa dirinya bangun, akhirnya setelah membasuh mukanya dengan tetesan embun di atas ilalang yang dingin, dia memutuskan makan sepotong biskuit, lalu berjalan-jalan sedikit.

Montgomery dan Alabaster belum bangun. Sang ksatria masih meringkuk dengan kaki merapat ke dadanya. Pedangnya diletakkan di sebelahnya, dibungkus sebuah selimut. Alabaster tidur dengan gayanya sendiri. Bersandar pada sebuah tunggul oak tua sambil memegang tongkatnya. Gideon berjalan-jalan sembari bersenandung, sebelum dia sadar bahwa ada seseorang yang juga bersenandung di belakangnya.

Yang bersenandung adalah Orchenbjerg. Si Phoenix yang semalam berhasil mereka ikat tubuhnya dengan tali-temali, setelah itu disarangkan di dua buah pohon cedar yang masih kokoh. Binatang itu memejamkan mata seolah tertidur, tapi dari sela-sela paruhnya berdesing sebuah nyanyian sunyi. Nyanyian itu begitu damai dan tenang, atau begitulah kesan pertama Gideon saat mendengar nyanyian itu pertama kali. Tapi nyanyian itu juga dalam dan sedih, seperti seruling penggembala yang paling merdu, namun lebih lembut dari siulan angin diantara ranting pohon. Nyanyian itu membuat Gideon teringat pada masa lalunya di pedesaan, membantu Marion di kandang sambil membersihkan kotoran sapi, juga berjalan-jalan diantara rumpun bunga petunia yang tumbuh di halaman Lady Eingfield. Kenangan pada masa-masa itu mengalir keluar dari pelupuk mata Gideon sebagai air mata yang panas. Pepohonan bergoyang dan rumput mendesir. Seluruh alam tampaknya ikut bernyanyi mengiringi nyanyian tersebut dengan khidmat.

Secara mendadak nyanyian itu berhenti. Gideon juga ikut tersadar. Si Phoenix telah membuka sebelah matanya yang berwarna kuning—karena mata kirinya sudah dibutakan oleh Montgomery—dan kini menatap laki-laki itu lekat-lekat.

"Kau mendengarkannya, Pengembara?" dia bertanya dengan lembut. Gideon langsung gelagapan. Dia tidak mengerti harus menjawab apa, tapi Phoenix itu tertawa.

"Jangan khawatir, aku selalu mendengkur dengan berbagai intonasi sementara aku tertidur. Hm, sebetulnya, aku tidak sungguh-sungguh tertidur. Pikiranku masih terbuka lebar, hanya mataku saja yang tertutup. Cara tidur bangsa Phoenix mirip dengan cara tidur bangsa Elf. Mungkin kau pernah mendengar tentang mereka?"

"Belum, belum sama sekali," jawab Gideon, mukanya memerah. "Tadi itu sungguh..."

"Indah? Damai? Syahdu?" si Phoenix bertanya dengan menggoda.

"Ya, ya, seperti itulah," kata Gideon. "Aku belum pernah mendengar dengkuran Phoenix sebelumnya, Yang Mulia. Dan kalau aku boleh berpendapat, dengkuran Phoenix adalah bunyi dengkuran paling merdu yang pernah kudengar."

"Kau pandai merangkai kata-kata," kata si Phoenix, tidak jelas apakah dia mencibir atau memuji. "Hm, Pengembara, tidakkah kau takut? Perjalananmu di luar sana jauh lebih mengerikan daripada yang seharusnya kaualami. Kau tidak bisa melewati satu-dua rintangan dengan mengandalkan temanmu si ksatria itu. Ada kalanya kalian harus bekerja sendiri-sendiri karena memang itulah yang diinginkannya. Dia ingin memporak-porandakan kalian."

Gideon menyadari bahwa Phoenix ini sedang mencoba cara lama. Dia yakin sebentar lagi Orchenbjerg ingin minta dibebaskan olehnya. Mulanya mungkin dia bermulut manis, tapi akhirnya malah jadi petaka, pikir Gideon. Dia tak bisa membiarkan makhluk ini mempermainkan pikirannya dengan kata-kata manis itu, tapi mendadak dia juga sadar bahwa makhluk ini pasti mengetahui lebih banyak tentang Alfendork daripada dirinya, karena Orchenbjerg—meskipun angkuh seperti tebing—sudah setua gunung-gunung pencakar langit.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now