Orchenbjerg

4 0 0
                                    

Dan saat mereka merangkak keluar dari terowongan Old Wightwill, Gideon memimpin di depan, wajahnya sepucat tembok. Gabungan perasaan takut, ragu, dan yakin bercampur jadi satu, dan itu bisa terlihat jelas pada matanya yang bersinar-sinar. Lentera di tangannya bergetar sehingga hampir jatuh. Montgomery dan Alabaster berjalan di belakangnya. Montgomery menghunus pedang, tapi Alabaster tidak melakukan apapun untuk melindungi dirinya nanti. Old Wightwill paling belakang, langkahnya mantap, tapi ekspresinya datar diterangi cahaya lentera.

"Berhenti," kata Old Wightwill, dan mereka semua berhenti melangkah. "Kita sudah sampai di ujung terowongan," tambahnya lagi. Old Wightwill maju mendahului Gideon, lalu membisikkan sesuatu pada tembok di hadapannya. Tembok itu berderak dan berkeriut, kemudian mereka melihat secercah cahaya matahari, putih kekuningan, menerobos retakan tembok yang makin lama makin panjang. Tak lama kemudian, mereka sudah bisa melihat padang rumput yang basah sehabis turun hujan. Bunga-bunga mungil berwarna jingga dan lembayung bergoyang-goyang ditiup angin sejuk dari pegunungan. Wajah Gideon dan Montgomery tidak berubah ekspresinya, meskipun pemandangan di luar sana begitu indah sehingga tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.

"Kau yakin akan berhasil?" bisik Old Wightwill kepada Gideon sementara yang dibisikinya mengangguk. "Bagus," kata Old Wightwill lagi. "Memang seharusnya kita selalu siap menghadapi apapun yang menimpa kita."

"Aku harus tahu keadaan di luar sana, Kawan," kata Alabaster, bergerak ke depan untuk mencium udara. "Oh, bau udara lembab dan tanah yang becek! Aku penasaran apa yang membuat penyihir muda kita berpikir untuk keluar. Aku takkan mengambil resiko kalau aku jadi kau."

"Pedangku bersamamu, Kawan," kata Montgomery. "Kalau dia berani macam-macam, aku akan mencungkil bola matanya."

"Jangan konyol, Ksatria," kata Old Wightwill, tawanya pahit. "Kau tidak bisa sembarangan mencungkil mata Phoenix. Apalagi seorang pemimpin diantara mereka. Kita harus sangat berhati-hati."

Gideon menelan ludah. Dia hanya bisa menunggu. Dia sebenarnya ingin keluar, berlari diantara rumput dan bunga-bunga snapdragon yang indah itu. Serta mencium aroma segar ilalang yang tumbuh. Seperti kebiasaannya waktu kecil, meniup kabur biji dandelion yang putih seperti kapas sembari berlari. Ah, begitu dia ingat dandelion, dia langsung ingat Aumora.

Tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh, seperti petir yang bergema membelah langit. Tapi Alabaster tahu betul bahwa itu sama sekali bukan bunyi petir. Hujan sudah pergi. Dan sekarang angin di pegunungan-lah yang mengabarkan kepada mereka bahwa bunyi itu sama sekali tidak menyenangkan. Sama sekali tidak menyenangkan. Old Wightwill menaikkan lentera di depan wajahnya, kemudian mundur beberapa langkah. Ketika kawan-kawannya bertanya, mengapa dia lakukan itu, dia menjawab:

"Jangan paksa aku tetap di luar. Aku tak bisa berlama-lama di hadapan Matahari. Aku memang dilahirkan di pagi hari, saat Matahari naik ke angkasa, tapi aku takkan pernah menjadi seperti dulu lagi. Tempatku adalah terowongan ini. Jadi, kalau kalian mau keluar sekarang, jangan ajak-ajak aku."

"Kawanku ini benar," kata Alabaster sambil menghela napas. "Phoenix bukan tipe makhluk yang bisa kalian ajak beramah tamah. Kalau dia sampai mendapati Old Wightwill melalaikan tugasnya dengan mengundang tamu semacam kita minum teh bersamanya, aku tak bisa memikirkan apa yang akan terjadi padanya kelak."

"Maksudmu kita tamu tak diundang?" Montgomery mengerutkan dahi.

"Semacam itulah," kata Alabaster, matanya yang putih berkedip-kedip. "Ingat, kalau kalian mendengar gemuruh seperti itu tadi, jangan palingkan muka kalian ke angkasa. Dan jangan pernah menatap wajahnya barang sekalipun."

Gideon mendengus. "Oh, diamlah, Pak Tua!" desisnya. "Aku jadi semakin gregetan sekarang, gara-gara perkataanmu!"

Tapi Alabaster benar, tak lama kemudian, mereka mendengar bunyi gemuruh kedua. Disusul tiupan angin kencang dari puncak gunung yang dapat mereka saksikan berdiri kokoh, seperti taring yang menantang langit, di sebelah utara sejauh mata memandang. Garis-garis tipis putih menghiasi tepian gunung tersebut. Mendadak angin berganti arah. Mereka harus menunduk agar mata mereka tidak kelilipan tanah. Tapi Gideon, yang tekadnya sudah bulat, tidak mau berlama-lama. Ketika tiupan angin ketiga menderu bersama butiran-butiran debu yang halus, ia menyeka matanya lalu berlari keluar, tepat di tengah padang rumput. Terhuyung-huyung, ia mencoba berdiri pada kedua kakinya. Daun-daun di pepohonan jatuh tertiup angin. Beberapa menampar-nampar pipi Gideon. Montgomery ingin berlari menyusul, tetapi Alabaster menghalanginya.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now