Keputusan Tak Terduga

4 0 0
                                    

Gawain tidak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah perkamen rahasia dipercayakan Morton kepada seorang gadis belia yang bahkan mungkin belum tahu apa-apa soal pemerintahan. Tapi dia segera tepis pikiran itu, karena dia tahu perbedaan hukum antara Moontrose dengan Abbery benar-benar di luar perkiraan. Sekarang, bagaimana kalau malah sang raja yang harus menanggung derita penjara hanya karena kelakuan seorang ksatria yang dia sendiri tidak kenal, tapi membawa-bawa nama Dungeon bersamanya?

Siang itu, Gawain sedang mondar-mandir di kebun kastil, memetik beberapa butir raspberry yang sudah masak di sekitar air mancur dengan patung satyr berekor tiga, ketika sebatang anak panah melesat melewati atas bahu kirinya. Hampir saja ujungnya yang tajam mengiris kupingnya kalau dia tidak melompat ke kanan untuk menghindar. Dengan berang, dipungutnya anak panah itu, lalu dia berdiri tegak.

"Siapa yang berani menembakkan panah kepadaku?" teriaknya.

Tidak ada orang di sekitar situ. Hanya ada seorang pengurus istal yang tiba-tiba menjatuhkan rumputnya karena kaget mendengar teriakan itu. Gawain dengan marah mematahkan anak panah itu jadi dua sebelum membuangnya ke tanah.

"Heran, siapa sih yang berani-berani bermain dengan senjata ini?" gumamnya. Tiba-tiba ia mendengar sesuatu, seperti ada yang bergerak diantara semak hydrangea. Gawain langsung meredam amarahnya, kemudian tersenyum, lalu memungut sebutir kerikil sebesar biji walnut. Sambil bersiul-siul, ia melempar kerikil itu ke arah semak-semak, yang kemudian terdengar suara, "Ouch!"

"Baiklah, Edward, kau boleh keluar sekarang," kata Gawain santai. "Jangan harap kau bisa mengerjaiku kali ini, Berandal Kecil."

Terbahak-bahak, sesosok remaja setinggi bahu Gawain melompat keluar dari persembunyiannya sambil mengelus-elus kepalanya yang baru terkena lemparan kerikil dengan sedikit gengsi.

"Well, tumben kau bisa menerka-nerka di mana aku," celetuknya.

"Tentu saja aku bisa, Ed. Aku gurumu," kata Gawain jengkel. "Hei, apa yang kaupegang di tanganmu? Dari mana kau mendapatkan busur itu?"

"Aku meminjamnya dari gudang Sir Phillip. Asal tahu saja, gudangnya tidak dikunci," jawab Edward santai. "Memangnya kenapa? Kau kaget gara-gara aku bisa membidikmu?"

"Membidik—ya, tapi mengenai sasaran—kurasa tidak," kata Gawain angkuh.

Edward menyeringai. "Kapan aku akan lulus menjadi ksatria, Gawain? Aku ingin segera melepaskan diri dari gelar squire."

"Squire bukanlah suatu gelar, dasar bocah tolol," kata Gawain. "Tanpa seorang squire, ksatria itu bagaikan pohon yang tidak berdaun. Squire memilki tanggung jawab paling besar terhadap hidup atau mati serang ksatria, dan dia juga harus berpegang teguh pada janji kesetiaannya untuk terus menjaga seorang ksatria."

"Itu sajak yang bagus, Gawain," kata Edward cuek, sambil berjalan mengitari kebun. "Bilang saja tugas squire adalah sebagai pelayan atau—kasarnya, sih, pesuruh seorang ksatria."

"Tidak semua pelayan menyiapkan pakaian dan air mandi, Ed," kata Gawain. "Aku juga dulu pernah menjadi seorang squire, dan itu saat paman buyutmu masih hidup. Dia adalah ksatria terhebat yang pernah kukenal. Dia bahkan bisa menunggang kuda tanpa berpegang pada tali kekangnya."

"Ya, ya, ya, semua orang tahu Sir Crisholm Yang Perkasa selalu mengikat kakinya di sadel dengan saputangan supaya sewaktu kudanya berlari, dia tidak tersungkur ke belakang," kata Edward, seringainya melebar. "Kenapa tidak kaukatakan saja Sir Crisholm tewas di medan perang karena lupa mengencangkan saputangannya?"

Setelah memastikan gurunya tidak berkata apa-apa lagi, Edward berjalan pergi dari kebun sambil bersiul-siul. Gawain mendesah. Percuma saja, anak seperti Edward tidak bisa dikalahkan dengan perang argumen. Karena sudah banyak penasihat kerajaan mencoba, hasilnya mereka semua mengundurkan diri sambil menangis meraung-raung di hadapan sang raja. Edward sendiri adalah putra bungsu Lord Nicholas, adik bungsu Raja Eorland, yang berarti dia keponakan sang raja. Lord Nicholas sendiri adalah murid kesayangan Gawain sewaktu muda, sekaligus squire kakak sulungnya, Lord Rhovanon. Sifat Edward hampir sama seperti ayahnya, pembangkang dan suka bermain-main. Tapi setidaknya, Nicholas orang yang rendah hati dan sopan santunnya tinggi, pikir Gawain. Ia memandang ke langit. Cuaca masih panas, tapi angin yang bertiup dari timur mulai terasa dingin. Gawain menghela napas.

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now