Menghalau Bayang-bayang

2 0 0
                                    

Langkah kaki Edward begitu cepat dan lincah. Rosie tersandung-sandung di belakangnya. Anak perempuan itu tidak begitu memperhatikan arah. Bagi Rosie, berlari bersama Edward sama capeknya dengan mengejar ayam. Wye Dungeon memiliki interior yang bagus namun lebih kompleks daripada Wye Morton. Menakjubkan sekali rasanya mengetahui bahwa Edward hafal semua ruangan serta koridor dalam kastil. Terkadang Rosie berpikir bahwa ada banyak jalan menuju satu tempat yang sama. Seperti halnya jalan menuju menara barat. Tangga yang menurut Edward bakal membawa mereka ke puncak menara barat terbuat dari batu granit putih. Melalui jendela-jendela kecil di sepanjang jalan, Rosie bisa melihat sekilas perang berkecamuk di luar kastil.

"Ayo, Pirang, cepat!" panggil Edward dari balkon. Rosie bergegas menyusul. Begitu sampai di balkon, pertempuran dapat terlihat dengan jelas olehnya. Bunyi ledakan dan pedang yang beradu memekakkan telinga. Denting busur dan jeritan prajurit yang tertembak panah bergaung di cakrawala. Tampak dari jendela benteng, infanteri Morton tengah membantai setiap tentara Dungeon yang menghalangi mereka. Para pemanah Dungeon membidik mereka sampai jatuh dari atas tembok. Bunyi berdentum datang dari sisi barat kastil. Tembok dilempari batu dari ketapel raksasa.

Nun jauh di Capital Town, asap membumbung tinggi bagai raksasa hitam yang tak berbentuk. Rosie menyaksikan rumah-rumah penduduk dibakar hingga luluh lantak. Prajurit Dungeon yang dipimpin Gawain menyerbu musuh dari timur. Mereka berkuda dengan liar, menyabet dan mendompak. Tentara gelap Wye Morton yang bermata merah bertarung seperti mayat hidup. Anjing-anjing setan menggonggong dan mencabik. Sebuah pendobrak berbentuk kepala naga dibawa lari oleh sepuluh prajurit setan. Mereka menghantam pintu kastil, menyebabkan dinding-dinding batu bergetar. Debu beterbangan di mana-mana. Langit menggelap. Angin yang membawa salju bertiup kencang. Namun salju yang jatuh tak lagi berwarna putih, melainkan merah karena darah prajurit yang gugur—baik itu dari Wye Dungeon maupun Wye Morton.

"Lihat itu!" Edward menunjuk. "Bukankah itu William?"

"Ya!" jawab Rosie. "Dia bersama Marzavi dan Rowlish! Mereka memimpin pasukan dari arah yang berlawanan dengan Gawain. Tidak mungkin—mereka bersama para tamu!"

"Orang gunung dari Highlands!" seru Edward. "Dan sahabatku Hamish bersama mereka! Kita harus bergabung!"

Rosie mengikuti Edward menuruni tangga. Selama berlari, paru-paru Rosie terasa terbakar.

"Edward! Kita mau ke mana?"

"Ikuti saja aku!" jawab Edward. Mereka sampai di ruangan yang besar yang penuh bangku-bangku besar seperti sekolah. Edward menghampiri sebuah pintu kayu di ujung ruangan. Dia mengongkek-ngongkek dengan gelisah.

"Oh, sial!" keluhnya. "Pintunya dikunci!"

"Dan almanakku dibawa Camelia," timpal Rosie.

Edward tampak bingung. "Almanak?"

"Penjelasannya panjang! Intinya benda itu sangat penting bagiku."

"Kalau pintu ini dikunci, berarti kita tidak bisa lewat jalan pintas," kata Edward sambil meninju dinding. "Hei, Pirang, gunakan tipuan sulapmu. Bisa, nggak?"

"Aku—aku tidak tahu mantranya!" sahut Rosie. "Tapi, pasti ada cara lain untuk membuka pintunya."

Rosie berpikir sejenak, kemudian dia tersenyum. "Aha! Joseph pernah menunjukkan triknya padaku! Minggir!"

Rosie melepas jepit rambutnya, lalu membengkokkan ujungnya sehingga berbentuk kait. Digunakannya jepit itu untuk mengotak-atik lubang kunci. Tak berapa lama kemudian, bunyi ceklik terdengar dan pintu kayu itu pun terbuka.

"Gampang, kan?" kata Rosie, bangga melihat Edward kembali melongo. "Mulai dari sekarang berhenti memanggilku Pirang!"

"Yah, terserah," kata Edward, memutar bola matanya. "Ayo, kau duluan yang masuk!"

MAHKOTA BERDURIWhere stories live. Discover now