Chapter 11: Half-Bloods

10.3K 828 14
                                    

Libur Natal sudah usai. Aku senang bisa menghabiskan waktuku bersama sahabat-sahabatku di Inggris—walaupun semakin lama, Scorpius dan aku semakin berjarak. Kami jadi sering bertengkar, berdebat dan tidak pernah ada pada halaman yang sama. Tetapi aku berhasil untuk tidak memikirkan anak itu dan bersenang-senang di London. Kami mengunjungi Buckhingham Palace, menaiki London Eye, dan melihat pemandangan kota London dari Up at The O2. Sangat keren!

Beberapa hari pertama sekolah berlalu bagaikan angin. Biasanya hari-hari pertama sekolah justru membuatku nyaris gila, dan disleksiaku tidak membantu untuk membaca mantra dari buku. Aku harus meminta bantuan teman disebelahku untuk membacakannya atau ruangan bisa-bisa meledak olehku, tetapi tidak kali ini. Disleksiaku memang tidak membaik, tetapi aku sudah belajar unutk mengendalikan emosiku jika kesulitan membaca. Jadi, setidaknya berkuranglah peluangku untuk menghancurkan sekolah.

Pertandingan quidditch antara Slytherin dan Gryffindor akan diselenggarakan dalam lima hari—minggu akhir bulan Februari. Sekarang aku telah resmi menjadi seeker untuk tim Slytherin. Aku dapat menerbangkan sapu terbang dengan lebih lincah dan tanpa henti, terima kasih kepada GPPH-ku. Yang membuatku lebih bangga lagi, banyak penyihir terkenal yang pernah memegang posisi itu, seperti Harry Potter dan Draco Malfoy—ayah Albus dan si cowok bipolar alias Scorpius.

“Emily!” teriak salah satu chaser dalam tim quidditch Slytherin, Francesca, dari common room. “Ayo, cepat! Kita harus berlatih!”

“Tunggu sebentar!” aku cepat-cepat menyusul Francesca yang sekarang sudah setengah jalan meninggalkan asrama.

Aku merapikan jubah hijau-perakku, seragam tim quidditch Slytherin, dan membuntuti anggota tim yang lain ke lapangan quidditch.

“Hogwarts Quidditch Cup akan dimulai lima hari lagi,” ujar kapten Jack. “Dan kita akan berhadapan dengan musuh lama kita, Gryffindor. Kita mungkin sudah dikalahkan oleh mereka beberapa kali, tetapi kita tidak boleh menyerah. Tahun ini, kita akan memenangkan pertandingan. Mengapa? Karena kita punya seeker baru, Emily Roberts.”

Anak-anak yang lain langsung menoleh kearahku. Mereka memberiku senyum tulus, beberapa merangkulkan tangannya ke bahuku. Sementara aku hanya tersenyum tipis dan berusaha untuk bersikap normal.

“Emily, ini pertandingan pertamamu. Tetapi aku sudah melihat caramu bermain. Kelincahanmu, kecekatanmu, semuanya sempurna. Aku yakin kita akan menang dengan kau sebagai senjata rahasia Slytherin,” Jack tersenyum penuh kemenangan. Disusul oleh sorakan dari anggota yang lain.

Setelah bola quaffle dilempar ke udara, aku cepat-cepat terbang ke atas lapangan—berusaha untuk menemukan golden snitch. Setelah beberapa menit aku berdiam diri di sapu terbangku, GPPH-ku mulai berulah, dan saat itulah aku melihat golden snitch lewat disamping telingaku.

Cepat-cepat aku mengejar golden snitch keliling lapangan sambil menghindar dari bludger-bludger yang berusaha mematahkan tulangku. Golden snitch terbang terus menjauh dariku—semakin tinggi melebihi kursi penonton. Aku terus mengejarnya keatas sampai lapangan dibawahku tidak terlihat lagi olehku dan tiba-tiba golden snitch itu terbang ke bawah dengan kecepatan kilat.

Tanpa pikir panjang, aku langsung melompat dari sapu terbangku dan mengejar golden snitch  sambil terjun payung tanpa parasut. Aku menjulurkan tanganku untuk meraih bola emas yang bergerak bagai kilat itu. Dan ketika aku memegang golden snitch ditanganku, aku lupa bahwa aku tidak sedang terbang dengan sapuku.

“Ugh, shoot,” ujarku pelan dan memanggil sapu terbangku agar menghentikanku dari jatuh menuju maut ini.

Sapu terbangku menurut. Aku berdiri diatasnya seperti orang yang sedang berselancar sambil mengangkat golden snitch tinggi-tinggi dan berteriak, “Yeah! Aku mendapatkannya!”

Shadow (old ver)Where stories live. Discover now