Chapter 30: Drew?

6.2K 511 10
                                    

Sorry for typo!

Emily's POV:

Sekarang kira-kira sudah satu minggu semenjak aku kembali dari misi pertamaku. Rosie sudah aman sekarang, walaupun sekitar dua hari belakangan ini dia suka mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi Chiron bilang kalau Rosie hanya mengalami sedikit trauma, meski aku tidak seratus persen yakin akan hal itu.

Aku lebih sering menghabiskan waktuku di arena. Entah mengapa bermain pedang dapat menjernihkan pikiranku, setidaknya aku dapat melupakan hal-hal yang membuatku stress.

"Hei, kau butuh partner?"

Aku menoleh ke arah suara itu datang dan mendapati Percy sedang berdiri disitu sambil memakai pelindung dada dengan Riptide ditangannya. "Boleh juga." Kemudian aku mencabut pedangku dari sebuah pasak kayu yang dipasangi baju zirah.

Percy melancarkan serangan pertama, namun aku dengan mudah menangkisnya. Dia menyerang lagi dan aku berhasil menghindar. Ketika dia hendak melakukan serangan selanjutnya, aku menahan pedangnya dengan pedangku di atas kepalaku—berhubung Percy lebih tinggi daripada aku—dan aku menendang perutnya dengan keras.

"Ada apa, Emily?" tanya Percy sambil memulihkan tenaganya. Keringat mengalir dengan deras dari dahinya. "Annabeth dapat mengataiku 'Otak Ganggang' tetapi aku tidak sebodoh yang dia atau orang-orang kira. Aku tahu ada sesuatu yang mengganggumu."

Nafasku masih memburu dan badanku lengket oleh keringat. "Itu bukan urusanmu," kataku dingin. Aku menancapkan pedangku ke tanah dan aku duduk disebelahnya.

"Baiklah aku tidak akan memaksa," kata Percy. "Tetapi jika kau butuh seseorang untuk bicara, jangan takut untuk datang padaku." Dengan begitu, Percy langsung bangun dan pergi meninggalkan aku di arena yang kosong.

Setelah kira-kira lima menit aku duduk, aku memutuskan untuk mandi. Ada permainan tangkap bendera malam ini, setidaknya aku harus terlihat lebih segar kalau aku ingin menang. Yah, berhubung permainan tangkap bendera pertamaku berakhir seimbang, aku jadi semakin ingin menang.

Di kabin, begitu aku selesai mandi dan berganti pakaian, Annabeth sedang memilih anak-anak yang akan menjadi anggota timnya untuk permainan kali ini.

"Emily," kata Annabeth sambil menunjuk kearahku. "Kau masuk. Aku butuh kemampuan sihirmu."

"Oke, baiklah." Aku memanjat bunk bedku dan mengambil tongkat sihir Scorpius dari bawah bantal. Memang sih, bukan tempat yang aman untuk menyimpan suatu barang yang berharga, tetapi tidak ada tempat yang lebih aman di kabin daripada tempat tidur.

Tidak lama kemudian, terdengar suara terompet kerang ditiup dari kejauhan.

"Enam! Berbaris!" teriak Annabeth.

Seluruh penghuni kabin enam berbaris menuju mess. Kami berbaris dengan urutan senioritas, jadi pasti aku berbaris di paling belakang. Pekemah lainnya juga keluar dari kabin mereka masing-masing, kecuali dua kabin kosong diujung dan kabin delapan. Kami berbaris menaiki bukit ke mess. Para satir juga bergabung dengan kami. Begitu juga dengan naiad dan peri-peri pohon.

Suasana malam ini lebih bersemangat, banyak anak-anak yang tersedak karena ingin cepat-cepat bermain tangkap bendera. Termasuk aku. Ketika piring diangkat, terompet kerang dibunyikan dan kami berdiri disamping meja makan.

Para pekemah bersorak ketika Annabeth memasuki mess sambil membawa bendera sepanjang tiga meter berwarna abu-abu dengan burung hantu dan pohon zaitun terlukis diatasnya. Entah kapan Annabeth pergi mengambil bendera itu, padahal kita duduk di meja yang sama. Tapi biarkanlah.

Shadow (old ver)Where stories live. Discover now