Chapter 18: Aurgentum

10.2K 651 31
                                    

Ketika aku bangun keesokan paginya, Kabin Enam sudah kosong. Bingung, aku turun dari kasur tingkatku dan menemukan hanya ada Annabeth di kasurnya. Anak-anak Athena yang lain tidak terlihat batang hidungnya. Dari kamar mandi juga tidak terdengar suara.

Cepat-cepat aku berganti pakaian dan keluar dari kabin, membiarkan Annabeth tidur didalam. Diluar, banyak pekemah yang sedang bermain basket. Mereka adalah sekelompok remaja tinggi yang dapat menembakkan bola langsung masuk, tanpa terpantul di papan atau di ring.

“Anak-anak Apollo,” kata suara di sebelahku—Rosie. “Sekelompok anak-anak tukang pamer yang menggunakan apa saja untuk dilempar,”

Aku menoleh ke arah Rosie dan anak-anak Apollo secara bergantian. “Ayolah, mereka tak mungkin seburuk itu,”

Rosie melipat kedua tangannya di dada. Salah satu alisnya terangkat.

“Setiap orang punya kekurangan, Rosie. Aku yakin, rasa percaya diri mereka yang berlebihan itu dapat berkurang,”

“Kau tidak bisa mengurangi rasa percaya diri mereka, kau tahu?”

Aku memutar badanku ke belakang dan mendapati Annabeth sedang menatapku. “Semua bisa terjadi,” kataku.

“Terserah deh,” kemudian Annabeth berjalan pergi.

“Apa sih masalahnya?” tanyaku jengkel sambil menendang batu dengan sepatuku.

Tidak lama kemudian, sekelompok anak-anak perempuan berlari kecil melewati lapangan. Mereka kurang lebih berjumlah dua atau tiga lusin. Yang paling kecil berumur sekitar sepuluh tahun. Yang paling tua, sekitar lima belas tahun. Mereka mengenakan jaket ski bertudung dari bulu binatang berwarna perak, celana jins, dan sepatu bot tempur. Mereka semua menyandang pedang di sisi badan merela, sarung anak panah di punggung mereka, dan busur dalam posisi siap. Sekitar selusin serigala berbulu putih berputar-putar di sekita mereka dan banyak di antara para gadis membawa elang pemburu di lengan mereka.

Gadis yang memimpin mereka memiliki rambut hitam pendek dan jaket kulit hitam. Matanya biru sedingin es—mirip mata empousa yang aku temui di Italia. Dia mengenakan mahkota perak bulat di kepalanya seperti tiara putri, yang tidak cocok dengan penampilan antara punk dan gothic-nya—anting-anting tengkorak dan kaus band yang belum pernah aku dengar namanya.

“Para Pemburu Artemis!” pekik Rosie di sebelahku. Dia langsung menyambar tanganku dan membawaku berlari menuju sekelompok anak-anak perempuan yang disebut Pemburu Artemis.

Ketika aku berjarak sekitar dua meter dari gadis-gadis itu, aku dapat melihat Rosie di antara mereka. Tunggu dulu, kenapa ada Rosie di kumpulan Pemburu Artemis? Aku menoleh ke arah Rosie yang memegangi tanganku dan Rosie yang aku lihat di antara pemburu.

“Rachel!” lagi-lagi Rosie memekik. Kali ini, dia langsung melepaskan tanganku dan berlari ke arah Rachel—kakak kembarnya kurasa.

Para pemburu yang lain bergerak ke arah Kabin Delapan, tetapi pemimpinnya—si gadis punk, sedang mengobrol dengan Annabeth di dekat danau kano. Mereka tertawa dan cekikikan. Sesaat Annabeth terlihat hampir gembira, lebih rileks, seakan beban berat di pundaknya sudah terangkat dan aku mulai berpikir bahwa dia akan menjadi teman yang asyik untuk di ajak nongkrong di saat yang lebih baik.

Seseorang menyentuh bahuku. “Emily, kenalkan, ini kakakku, Rachel. Rachel, ini sahabatku Emily,” Rosie memperkenalkan.

Rachel mengulurkan tangannya sambil tersenyum manis. “Hai, senang bertemu denganmu,”

“Aku juga,” aku membalas uluran tangannya.

“Ternyata kau keras kepala ya?” senyum manis di wajah Rachel di gantikan oleh cengiran yang terkesan jahat.

Shadow (old ver)Where stories live. Discover now