ROKOK

20.2K 1.1K 29
                                    

Matahari menukik turun di padang ilalang di kala senja waktu itu.

Aku tak bisa mendeskripsikan banyak apa yang kau pakai kala itu. Yang jelas, satu buah selendang motif mega mendung kau sandangkan dilehermu agar udara ini tidak terlalu mengganggu suhu tubuh. Katamu kau tiga hari belakangan ini pilek dan batuk. Untuk berjalan menerobos rumpunan ilalang musim berbunga saja kau harus berjuang mati matian, bersin bersin, dan akhirnya ku ketahui kau itu alergi akut terhadap serbuk sari yang terbang melayang mengikuti angin sore itu.

Kita duduk memandang kebun teh yang terhampar, berbicara seperlunya saja, karena kau tau aku selalu kehabisan kata kata jika dihadapkan sama kamu. Tak seperti surat suratku yang berlembar lembar, dan mungkin jika dibukukan sudah habis 150 halaman. Banyak sekali yang ku tanyakan, termasuk mengenai hal hal detail mengenaimu baik makanan kesukaan, hobimu, tanda lahirmu, goresan di jidatmu termasuk kenapa kau selalu jalan terpincang pincang yang sering ku perhatikan saat kita saling bertemu tanpa saling tatap. Koperasi unit desa awal pertemuan kita dulu, dan disana sering kutitipkan surat saat aku menjual hasil jerih payah menjadi petani kopi, seseorang yang aku kenal akan menyampaikannya padamu. Dan kabarnya kau tidak pernah sekalipun membawa pulang suratku, dan jawaban yang kau titipkan tak pernah diketahui siapapun kecuali aku, semua rapi tanpa cacat sedikitpun.

Alena, kau tau betapa kosongnya aku.

Dan kau pasti tau seberapa besar kehadiranmu menggetarkan sanubari. Aku dan kau bergelut dengan kefanaan di pelantar senja. Kau cantik sekali hari itu, ras campuranmu mengekspresikan warna mata hazel yang menawan, dan rambutmu kecoklatan nan ikal jatuh indah di bahumu. kau duduk bertopang dengan kedua tanganmu kebelakang, angin memujamu.

"pertanyaan mu yang terakhir itu, sepertinya aku tidak tau jawabannya, aku tak tau bagaimana mengakiri penderitaan ini, minimal 10 jam sehari, 6 hari seminggu aku bebas dari dia"

Alena mengerjap, sisa tamparan dipipinya belum sembuh total. Dan luka didahinya bertambah, sepertinya luka itu menghasilkan infeksi, tapi dia tak mau beranjak dari tempatnya berdiri, minimal berobat dengan mantri. Yang dia lakukan hanya bertahan dengan semua kekejaman suaminya, walaupun dia hampir saja mati.

Bodohnya aku tak mampu meraih tangannya sama sekali, takut terlalu menerjang kepercayaan diriku. Aku membiarkan dia bebas tanpa kontak fisik sama sekali, lalu kali ini dia memberi pernyataan yang tak ku duga duga.

"kau sepertinya hidupmu sempurna sekali, kau punya sinti, punya ibu romah dan kakek rosman, dan teman teman mu yang jahil yang sering mengisengimu, sedangkan aku, aku rasa aku tak punya siapa siapa lagi setelah ragaku di jual demi sepetak tanah untuk menghidupi keluarga kami, mereka tinggal jauh sekali dari sini, aku ingin lari kesana rasanya, ingin pulang, andaikan jarak lebih dari 1000 kilo meter itu bisa ditempuh dalam sekejab, aku pasti tidak akan balik kesini lagi, aku ini hanya budak seks yang belum merdeka, tak lebih tak kurang"

Angin memainkan rambut panjangnya. Jemarinya yang lentik dengan luka luka bergerak untuk menghalangi hembusan angin ke rambutnya. Dia dimataku tetap saja tercantik walaupun seluruh tubuhnya layaknya korban kdrt.

"iya mungkin aku beruntung, tapi aku ini tetap saja manusia alena, kodratku berada disekitar kalian, memulai hidup baru dengan manusia juga, menghabiskan masa kefanaanku melihat matahari, bukan dengan cara ini harusnya aku menutup diri, aku benar benar ingin bebas, meskipun aku tau seberapa kejam penghianatan manusia, aku ini korban yang akan membuka jalan, jika kau mau kita akan berjuang bersama"

Alena meneteskan air mata, sambil menatap jam tangan. Aku tau setiap detik pertemuan kita seperti ini dia akan menghitung waktu dengan teliti. Mengindari hal buruk yang akan terjadi di rumahnya nanti.

Dia terbatuk batuk, percakapan hilang begitu saja sampai turun hujan. Kekakuan kami berjalan lebih 20 menit, lalu dia minta pulang. Ku antarkan dia sampai belokan dimana ada pohon besar berada, dia kayuh sepeda ontelnya dengan kecepatan sedang, tak lama dia hilang dari pandangan.

Kau tahu kuncoro, balik ke normal itu seperti menghajar angin, kau tak bisa mengerti dengan pasti musuhmu, dia ada dalam ketiadaan, dia bergerak menyapu, kau hanya bingung berjuang sambil membisu.

-------

Malam ini aku akan menyeduh kopi pahit yang tak aku gulai, akan ku ajak genderuwo dengan sebutan wowo itu bercengkrama sambil menghisap rokok kretek yang kubeli di pasar pagi di desa. Dengan ritual seadanya, sepertinya laki laki bertubuh besar dengan perawakan kera dengan taring panjang itu mengerti kalau dia sedang diundang di acara kecil kecilan. Dia berdiri didepan pohon rambutan, setelah dia turun dengan bunyi gedebuk dengan frekuensi yang cukup kentara.

"rokok, rokok"

Kunyalakan rokok satu lagi, dia sudah duduk diam di batu besar, memperhatikanku lamat lamat dengan mata merah seperti buah saga.

"kenapa kau kesini, minta bantuan lagi kah? Serangga mana yang harus ku usir kali ini di kebun kopi mu itu"

Aku menggeleng.

"duduk saja, dengarkan aku, aku ingin bertanya apakah hidup lebih lama itu lebih baik? Karena kau pernah bilang kau hidup selama 500 tahun"

Suaranya bergema, memecah keheningan malam.

"kau ingin mati? Kau tanyakan saja sama kunti dirumah mu itu dan jangan lupa ajak diri sesekali kesini, dia lumayan cantik juga kalau ku perhatikan"

Aku tau yang dia maksud, itu sinti. Sepertinya sinti lumayan terkenal setelah drama memperebutkan satu lelaki di pesta dua minggu yang lalu.

"nanti akan kusampaikan, aku ingin pandanganmu karena kita sama sama lelaki, dirumahku aku tak mungkin bertanya sama pak rosman, dia terlalu sepuh dan susah sekali berbicara menyangkut hal ini, dia itu toa tapi pelupa"

"aku pernah hidup dialammu dan berakhir seperti ini adalah yang terburuk dari semuanya, percayalah hidupmu memang singkat secara perhitungan matematika tapi masamu saat jadi manusia pasti lebih bermakna, kan kau tau sendiri, bahkan ruh dari manusia yang menyerupaiku dulu saja belum tenang di alam sana, jangan berpikir aneh aneh. Alam itu masih besar yang bisa kau jelajahi kawan"

Aku suka sekali bercengkrama dengan makhluk ini, dia nggak sejail yang bisa ku utarakan. Biasanya genderuwo lain yang ada disekitar sini setiap bertemu aku sering melempar batu, yang menandakan dia mau sesaji, lalu jika tak diberi akan mengganggu tidurku termasuk mengganggu sinti. Ini adalah genderuwo terbaik yang ada disini, dia pasti akan menunggu rokok ini habis kecuali jika perhatiannya pecah dengan puluhan peri yang terbang rendah dengan gaun indah, dia pasti hilang sekejab seperti kali ini, namanya saja kelemahan lelaki. 

DUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang