PERI

7K 577 6
                                    

Laki laki itu duduk dengan kaki terlipat, posisinya seperti orang sedang bertapa. Matanya tertutup tapi peluh serta luka di seperuh badannya itu membuatku bergidik ngeri. Dia berkaus abu abu, disekitarnya sudah banyak makhluk makluk yang membuat rantai lingkaran mengelilingi tubuhnya. Aku tak tau persis apa yang mereka lakukan, tapi seperti membacakan mantra mantra jawa kuno. Pertama kali dalam hidupku, menyaksikan sendiri kuntilanak kuntilanak tidak cekikikan, gorilla antik tidak suka menggoda, dan para manifestasi dari manusia manusia masa lalu tak mengganggu dan tak menanggapi kehadiranku. Mereka semua tampak serius sekali kali ini.

"kau alena kan?"aku menepuk bahu yang kuyakini itu adalah alena.

Aku menunggu wanita yang memejamkan mata itu merespon. Alunan mantra mantra itu tetap diucapkan seakan tak terpengaruh akan kedatanganku. Ku guncang guncang tubuh wanita itu saat aku dan dia sudah satu frekuensi. Aku juga tak bisa menjelaskan kenapa lubang hitam itu mengubahku seperti ini. Boro boro ada makhluk lain yang berniat mengisengi, yang aku terima saat aku terdampar tak jauh dirumah ini, aku malah diangkat dengan tandu oleh beberapa orang orang yang seperti panglima kerajaan. Semua yang ada diluar tadi memberikan hormat sopan, tak peduli bagaimana pun rupa mereka. Alunan suara menyeramkan yang ku dengar sebelum pergerakan tandu itu mendekat langsung berhenti seketika. Bahkan apapun kesibukan mereka saat itu beramai ramai ke jalanan, bersimpuh serta bersujud memberikan beberapa penghormatan.

Aku bukan presiden atau tokoh penting kerajaan.

Angin bergerak merdu, pukulan pada atap rompong berkurang. Aku tak mengerti mengapa seseorang manusia bisa tinggal di rumah dengan kondisi seperti ini . Di dinding depan rumah saja sudah di tumbuhin pakis, dan tak jarang disela sela ubin ditumbuhi beranekaragam lumut berbagai warna. Di luar rumah terdapat satu pohon kelapa yang daunnya sudah meranggas ganas yang menjulang tinggi, mungkin saja di hantam petir ribuan volt. Rumah ini seperti layaknya rumah hantu yang sudah ditinggali bertahun tahun lamanya. Tak ada kursi di ruang tamu, hanya ada anyaman bambu dan beberapa perlengkapan pemanggilan hantu. Satu buah piringan dari tanah liat yang sudah menghitam untuk membakar menyan, wangi dupa yang belum dibakar yang menguap ke udara, dan beberapa wadah yang sepertinya untuk meletakan sesejian. Bunga bunga tujuh rupa sudah keliatan kering, layu, dan beberapa darinya sudah menghitam. Ruangan itu meninggalkan bau berenekaragam yang membuat asupan udara bersih berkurang.

Tapi lelaki itu duduk di ruang belakang setelah ruang tamu.

Khidmat oleh keseriusan makhluk makhluk yang dulu kepandang sebelah mata. Tangan gorila antik (genderuwo) berusaha menjangkau tangan seorang orang tua yang tubuhnya bahkan hanya setinggi betisnya kalau posisinya berdiri. Tangan laki laki ringkih itu tenggelam, disampingnya ada wanita dengan punggung berlubang. Penjelmaannya seperti kuntilanak dengan baju putih lusuh yang melekat pada badannya. Rambutnya panjang melewati punggung, jika dilihat sekilas kaku seperti ijuk dengan warna hitam pekat. Ada dua kuntilanak disini, satu lagi adalah disamping alena yang baru saja ku panggil tadi. Dua kuntilanak ini sama saja, sama sama pucat dan mata panda, hanya saja yang satu ini punggungnya tidak berlubang.

"kau kemana saja, disini sudah menunggumu"

Seseorang dengan rambut acak acakan, menggendong boneka kain seperti voodoo mendekatiku. Dia senyum senyum cengengesan lalu tak lama dia kembali fokus sama boneka yang mungkin dia kira anaknya. Lalu kuberanikan diri untuk bertanya.

"kau siapa"

"aku... aku siapa ya, hihihhi"

Berbicara dengannya seperti berbicara dengan orang dengan kelainan jiwa

"fino, ini mama kan. Mama kan"

Dia menbawa boneka itu kedekat telinga, lalu seolah olah boneka itu memberikan jawaban atas pertanyaanya. Dia mengangguk angguk seperti ada yang dia mengerti.

"fino bilang aku mama, aku mama"

Aku mengiyakan dengan takut takut saat gigi giginya menggertak, ada kemarahan setelah dia tertawa sekali lagi.

"aku mama, aku mama, aku mama. Aku mama. Hiks hiks"

Dia menjauhiku masuk keruangan yang lain sambil menimang nimang boneka tadi. Lalu ku dengar dia memukul mukul dinding dan membuat keributan dengan melempar lempar barang. Mungkin ini yang dimaksud bipolar disorder tipe darurat. Ketawa dan menangis dalam jeda yang terlalu singkat.

----

Aku melayang, bobotku berkurang.

Dari awan bisa kuperhatikan banyak hal, sepertinya ini adalah negeri para peri. Perawakannya seperti manusia asli, tapi banyak dari mereka bersayap agar bisa terbang tinggi. Mentari (aku sebenarnya tidak yakin ini matahari) sudah ditelan ujung lautan. Negeri ini seperti yang digambarkan di cerita dongeng pada buku buku bergambar. Sinar rembulan (aku juga nggak yakin ini bulan) jatuh pada lautan, cahayanya yang keperakan seperti menaburkan berlian pada permukaan air. Berkilat kilat, indah dan semuanya hampir seperti yang ada pada dunia manusia. Bahkan ikan ikan pun keliatan lebih ramah yang berkejar kejaran dibawah permukaan, mencari biji bijian kecil yang dilempar para masyarakat sekitar. Seperti acara sedekah laut di bumi, seperti ada parade arak arakan yang mereka rayakan secara bersama sama, mereka keluar dengan pakaian berkilat kilat jika diterpa cahaya, baju yang mereka pakai seperti baju para peri khayangan, berselendang pagi para wanita dan berbaju seperti anggota kerajaan bagi para pria.

Aku tau jiwaku dilarung disini oleh para pelafal mantra mantra yang kutemukan di rumah tadi. Katanya keterbatasan derajat merekalah yang membuat mereka tak bisa menembus khayangan.

Suara mereka seketika lenyap saat aku mendekatkan diri dengan tempat ini. Tak adalagi suara cerewet dari sinti maupun ningsih, paling jauh ku dengar adalah suara wowo yang masih bergema di lapisan langit terbawah mendekati dunia ini. Mereka mengucapkan hal hal yang paling ku sesali kenapa harus ku dengarkan tadi, mereka bilang dunia ini bisa saja membuat aku lupa untuk kembali secepatnya membawa kuncoro. Tapi yang benar saja, saat aku mendarat tak jauh dari pesisir seseorang dibelakangku menepuk bahuku pelan. Saat aku berbalik, gingsulnya membingkai wajahnya yang tampan, seketika aku melayang dalam wangi parfumnya yang maskulin. Ini wangi Hugo Boss Orange yang pernah kuhadiahi untuk ulang tahunnya yang ke 22.

"rei?"

DUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang