KESURUPAN

12.6K 922 18
                                    

Sinti menggenggam seorang wanita yang seharusnya wajahnya tak asing lagi. Luka lebam, rambut ikalnya, warna iris matanya yang masih kukenali walaupun bagian putih matanya memerah, dan tentu jalannya yang berbeda membuatku hampir saja menjerit ketakutan. Dia meninggalkan banyak jejak dari ceceran darah dilengan kanannya. Menetes netes tanpa mau berhenti. Wajahnya lebih pasi dari sinti, tapi yang ingin kugaris bawahi tatapannya penuh sesal, ada yang meratap di hatinya. Dia pakai gaun selutut dengan potongan klasik, dengan lengan sejengkal dan potongan dada yang cukup rendah tapi sopan. Bersepatu abu abu, sepatu yang sering dia gunakan saat mengayuh sepeda ontelnya untuk menemuiku.

"kenalkan alena, ini yang sinti bilang tadi mas kun, sinti akhirnya punya teman, dia tau sinti, padahal tadi hampir saja alena ikutan geng GIGI yang sinti benci itu, tapi akhirnya alena milih sinti"

Aku tertegun, aku tau wanita ini sepenuhnya. Mungkin yang sinti maksud adalah qorinnya. Tapi qorin yang menjerumuskan alena ini pasti tau sekali dengan aku. Aku adalah laki lak yang ada untuknya setahun belakangan ini.

"alena dimana"ucapku tak sabaran, emosiku benar benar memuncak, ku datangi pekuburan di desa tetangga dengan vespa antik. Malam sedikit lagi merambat, pekuburan ini sudah layaknya pasar dengan banyak aktivitas, susah sekali menyari ruh dengan kumpulan jin jin penipu yang menyerupai.

Keketuk kamboja merah jambu itu dua kali, lalu muncul sekumpalan asap yang lama lama mewujudkan seorang kakek tua berjenggot lebat membawa tongkat tapi tidak menapak. Aku ucapkan maksud kedatanganku padanya dengan suaraku yang ku buat kuat kuat. Qorin ini dulu adalah sepuh yang bijaksana, dicintai banyak orang desa, dan omongannya bisa dipercaya.

"masih di rumah, dia tak ada disini, ruhnya sudah balik lagi ditempat dia mati, temui dia disana, karena akan ada sampai 40 hari"

Ku tinggalkan pemakaman tergesa gesa, risih dengan banyak sekali yang meminta bantuanku saat dijalan. Ada yang meminta tali ditangannya dilepas, ada wanita yang memintaku memberikan baju untuk anaknya yang baru lahiran dengan ari ari yang belum dipotong, dan yang paling naas ada pria yang minta kematiannya diungkap. Dari sini aku selalu benci pemakaman, banyak aroma kesedihan, kesengsaraan, dan dalam hidupku aku selalu menghindari untuk berada disini sejak umurku masih lima tahun.

----

Dia tinggal dirumah megah dengan tiga lantai, ini rumah orang terkaya didesa ini. Rumah beton yang mencolok, punya garasi besar untuk menyusun mobil kesayangan punya pemilik, dan didepannya ada kebun lucu dari tanaman kerdil yang asri, ku ketahui rumah ini punya suseno; suami sirinya wanita yang kucintai.

Beberapa bagian rumah ini dipasangi garis polisi karena kematian alena memang termasuk kasus yang musti diselidiki. Tapi penduduk sekitar yang jumlahnya tak seberapa masih mengadakan tahlilan diruang depan, kuberanikan masuk, meskipun banyak yang tak mengenalku sama sekali. Ku berikan alasan jika aku adalah temannya selama di koperasi desa. Ku yakinkan pengawal depan jika aku juga ingin mendoakannya berhubung pernah hutang jasa. Ku kalungi sorban biar tambah meyakinkan.

Ku duduk di ruang dimana semua alunan ayat suci sahut menyahut dilantunkan. Bergema sampai ke langit langit, beberapa jin fasik penghuni rumah ini tadi sudah kuperhatikan lagi ngibas ngibas jauh dipintu pagar. Termasuk keris keris di ruang depan ini yang qodamnya ingin sekali lepas, tak kuat dengan alunan ayat ayat. Rumah ini auranya gelap meski lampu berwatt watt dikerahkan sebagai penerang, ada kesedihan yang bisa kuterjemahkan dari dinding dinding yang jadi saksi bisu. Ini rumah tempat kekasihku disiksa.

Suseno, seperti yang pernah dia jelaskan di suratnya, berkumis lele diatas bibirnya duduk diantara para pelayat. Seseorang berpakaian kebaya lengkap dengan pergerakan lambat mengetahui kehadiranku, dan sepertinya mengerti maksud kedatanganku. Tangannya mengarah menunjuk nunjuk ke salah satu ruangan tertutup, berkali kali sampai matanya melotot mengerikan. Aku tak tau bagaimana cara untuk pergi, bagaimana bisa memeriksa ruangan yang bukan hak ku. Tapi sepertinya ibu ibu tadi tak sabaran, matanya seperti akan keluar, wajahnya menegang berurat urat, lalu kakinya lama lama dia hentakan. Aku yang tak kuat perubahannya, berteriak kencang kencang sampai para pelayat memperhatikanku lekat, aku alihkan perhatian mereka, dengan alasan jika masalahnya ada pada asam urat.

Tapi dia tidak menyerah.

Sukmaku tenggelam di dunia terdalam. Kau harus tahu jika tubuh manusia sebenarnya seperti lautan, dimana kesadaran itu ibaratnya kapal yang mengapung, sedangkan jika hal itu dialih posisikan, kesadaran itu tenggelam tanpa bisa kau kendalikan. Ini layaknya bermimpi yang didapatkan dari paksaan, kapalmu karam, digantikan dengan kapal semu yang mengendalikan ragamu sepenuhnya, tanpa bisa kau atur bagaimananya, kau hilang kesadaran, lalu sedikit demi sedikit beranjak ketika kepal semu itu diusir dengan berbagai cara.

Seorang wanita memberikan aku sedikit wejangan, dia bilang aku mungkin kesurupan gara gara kecapekan dan pikiranku kosong. Dia serahkan sebotol air minum dalam kemasan yang telah didoakan. Dia katakan beberapa macam hal yang tak kusadari sebentar ini.

"jang, tolong rahasiakan, ibu tau kamu tau banyak hal tentang alena, suseno itu anak ibu, anak kesayangan ibu, kamu butuh uang berapa untuk pergi jauh dari sini, jangan pernah ganggu kehidupan anak ibu"

Ternyata ibu ini adalah cikal bakal lahirnya orang seperti suseno. Aku tau namanya itu adalah rakusni, dia wanita tamak yang menjajah masyarakat desa untuk dipekerjakan di perkebunan teh dengan gaji yang sangat tidak manusiawi.

Aku mengangguk saja, berurusan dengan nya sama saja cari mati, sudah banyak masyarakat sini mati dengan tidak wajar tapi rapi. Dia licin seperti belut, dan lebih licik dibandingkan kancil. Aku pulang, ide ku untuk datang menemui alena langsung adalah yang terburuk, akan ku raga sukmaku esok untuk menemui alena.

DUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang