TENGKORAK

6K 531 10
                                    

Lolongan anjing bertalu talu memecah kesunyian malam yang cukup terang oleh cahaya bulan. Seorang laki laki jangkung berada diantara ilalang yang panjang panjang, sampai ujung daunnya mampu merangkuh kabut malam. Tak jauh dari sana, Siluet pohon asam jawa tercetak di dinding gedung tua bekas pengolahan teh, seperti jari panjang para kadal, bercabang cabang dan menakutkan. Di antara padang, sesekali melayang para kunang kunang, seperti orbit abstrak bintang bintang liar, tiba tiba sebentar ini gerimis menerjang membuat mereka pada bubar. Kuncoro hilangkan ketakutan menuju pohon itu untuk menghindari hujan, karena bagaimanapun pohon adalah tempat jin jin bersarang, lalu dilangkahkanya kaki untuk berteduh sekalian bersandar dipohonnya yang rindang.

"kun, kun, kun"

Kuncoro mencari asal suara yang dia yakini berasal dari alena. Dia percaya itu  seratus persen, karena tak mungkin ini ulah jin jin iseng dan kurang kerjaan, karena sedari tadi dia tak ada melihat kehidupan lain yang tak kasat mata disekitar sini.

"kun, tolong aku"

Dia kembali memutarkan pandangan di sekitar ilalang. Dia perhatikan satu satu sampai celah celah dedaunan, bayang alena tak kunjung tertangkap oleh pandangan.

"alena kau dimana?"

Kuncoro mulai menggasak ilalang, dia telusuri setiap jengkal saat suara wanita itu semakin dekat lalu tiba tiba menjauh dengan sendirinya. Kuncoro bingung dengan apa yang dia kejar, tapi dia ikuti instingnya, hanya untuk alena.

"alena, keluarlah"

Jawabannya kembali parau, ditambah sedikit rintihan yang berasal dari kesakitan.

"kuncoro jangan bergerak, aku sudah didepanmu"

Lemas lutut kuncoro melihat perwujudan alena jauh dari ekspektasinya. Muka alena semberawut, penuh luka lebam dan disekitar matanya menghitam. Rambutnya juga tak lagi indah, tapi seperti gulungan permen kapas yang berantakan. Dan lebih parahnya,  di tangannya terdapat aliran nadi yang  terpotong, berdarah darah sampai membuat rumput dibawahnya harus menyesap warna merah.

"alena...?"

Alena menggangguk pilu. Penuh kesakitan dan kepedihan, dia tatap kuncoro dalam dalam, sebelum suaranya tenggelam oleh keadaan.

"aku alena kun, hampir sebulan aku tak melihatmu"

Kuncoro menghampiri alena dengan tertatih tatih, merangkul tubuhnya, lalu menyentuh lebamnya.

"ini bisa kau obati dengan sedikit kumis kucing, kau bisa menumbuknya lalu membalutnya kesini"

"tak perlu diobati kun, aku sudah tak dialam mu lagi, tapi kau dokter yang hebat kun, kembali lah ke normal, ke hidupmu dulu"

Kuncoro menggeleng, begitu banyak kesakitan dari masa lalunya. Medis adalah dunia yang tak akan disentuhnya lagi setelah kejadian rekayasa kasus malpraktek yang pernah melibatkannya. Mimpinya sirna, dibuang keluarga, lalu terluntang lantung di peradapan lain demi menghilangkan jejak hukum dengan uang sogokan.

"kembali hanya untuk membuka luka, aku tak bisa kembali lagi alena, reputasi ku sudah hancur, karena apa, kau tau apa, karena aku tau penyakit apa saja yang menimpa seseorang tanpa harus mendiagnosisnya terlebih dahulu, bahkan aku tau sama obat obatnya, buatku indigo bukan hanya kelebihan tapi juga kelemahan."

Kuncoro tertegun, dunia seperti kehabisan nafas, gerah untuknya. Mengingat luka dan menyuruhnya kembali untuk menekuni itu lagi bukanlah ide bagus. Terlalu banyak traumatik yang membuatnya tak bisa simpatik, itu sudah harga mati.

"baiklah kun, maafkan aku jika menyinggungmu"

Tangan alena sudah basah oleh ceceran darah menjauh dari rangkuhan kuncoro. Dia tarik ujung gaunnya sedikit untuk menghentikan derasnya alirannya. Lalu mukanya semakin pucat pasi.

DUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang