RUH

4.4K 459 21
                                    

Tak ada setitik pun hujan yang turun setelah hari itu.

Kering, rumput rumput menguning, beberapa daun berguguran untuk mengurangi transpirasi berlebih, disapu oleh seorang pekerja kebun paruh baya sebelum matahari ditelan ujung lautan. Minimal pekerjaan ini musti dia selesaikan sebelum azan berkumandang, agar dia tak pulang terlalu malam.

Pak sudiman namanya, umurnya sudah mendekati 7 dasarwarsa. Tulang belakangnya sedikit membungkuk karena faktor usia. Orang itu dulu tukang kebun langganan keluarga, hampir tiap hari diperkejakan majikannya, tak peduli musim kering atau hujan, dia pasti digaji setara penuh tiga puluh hari. Pengabdiannya dikeluarga yang hidup dirumah megah layaknya kastil tua ini sudah berwindu windu sampai menyita lebih 50 tahun umurnya. Berkat kesetiannya, jangan heran wajahnya terpampang di figura bersama anggota keluarga lainnya, sampai pada empat generasi terakhir.

Sebelum pulang, sudiman menerima upah dalam amplop polos dari tangan seorang asisten kesayangan nyonya rumah ini. Namanya Novita, umurnya sudah hampir berkepala empat dan tak kunjung menikah. Orangnya sedikit dingin, hampir sama dengan nyonya besar istri generasi kedua terakhir yang jarang menampakan diri jika sore sebelum maghrib. Kabarnya, nyonya yang baru satu tahun mengisi rumah ini sedikit pemalu, dan jarang sekali bersosialisasi. Beberapa pembantu dulu juga terpaksa dirumahkan, termasuk sudiman yang hanya dipanggil jika dibutuhkan. Semua pekerjaan dalam rumah bisa dikerjakan novita. Padahal sebelum generasi ketiga terakhir kecelakaan pesawat yakni ibu dan ayah arianto dininggrat, atau nenek dan kakek untuk sepasang anak balita ayla dan artha, rumah ini ramai sekali. Bahkan juga ada sekeluarga pembantu yang hidup didalam rumah ini dengan kehidupan dan fasilitas yang layak.

Keadaan arianto setelah pelepasan guna guna  itu semakin membaik. Dengan seminggu masa perawatan, dia sudah bisa kembali ke kantornya untuk menangani beberapa pekerjaan yang sudah lama dia tinggalkan. Anak kecil dari pernikahan sebelumnya dia percayakan diasuh oleh istri baru; yang disebut nyonya besar tadi. Sekarang dua anak itu melongok menggeser gorden jendela, dengan rambut basah dan bedak bayi yang nggak rata dimuka mereka memanggil manggil sudiman mungkin untuk mengajak bermain. Hal yang biasa pikir laki laki renta itu, anak ini setelah ayah dan ibu kandung mereka bercerai, benar benar jatuh ketangan seorang ibu yang super protektif, maklum ibu mereka yang biasa disapa sunarsih punya trauma kehilangan empat anaknya dulu dalam rentang cepat karena  sakit yang tiba tiba.

Kedua anak itu kembali mengetuk ngetuk jendela kaca, sudirman melambaikan tangan untuk pamit setelah dia masukan amplop dari novita ke saku celana. Dia melemparkan senyum perpisahan, dan di benaknya, kalau dia dipanggil lagi untuk jadi tukang kebun, akan dia bawakan kedua anak itu mainan yang dibelinya di pasar malam pinggir kota.

---

Kuncoro hidup di kosan sempit, tak jauh dari rumah sakit tempat dia menjual diri. Beberapa bagian malam dia habiskan dengan meditasi, minimal menenangkan pikiran sesaat dari urusan duniawi. Tapi tetap saja, penghuni penghuni baru rumah sakit yang penasaran dengan kematiannya, sering sekali membuntuti kuncoro sampai lari lari di kamar ini jika mereka merasa tidak ditanggapi eksistensinya. Ada yang membisiki sampai lidahnya menjilati kuping kuncoro, sampai ada juga yang sengaja mendorong tubuh kurus kuncoro, agar kefokusannya terbuyarkan. Saking biasanya dengan fenomena seperti ini, laki laki itu jarang sekali goyah, minimal untuk 20menit sehari, dia mengkondisikan mata batinnya agar mampu terpejam, sebelum kembali menyadarkan diri.

"kau sudah bangun?"sebuah suara sayup berada persis dibelakang kuncoro yang selesai bermeditasi.

"ibu?" dia menoleh

Seseorang duduk disudut ranjang kuncoro, dengan wajahnya yang sendu. Pakaiannya menggantung, memperlihatkan kakinya yang pucat dan hampir membiru. Rambutnya seperti dahulu, tak pernah benar benar rapi seutuhnya meski waktunya banyak dihabiskan dengan menyisirnya dengan kukunya yang panjang. Sudah 6 tahun lebih kuncoro tak pernah melihat wanita ini lagi, dan wajar ketika sosoknya ada didepannya, air mata kuncoro turun seperti air bah. Dia rindu retno, dan sepertinya malam ini kerinduannya melabuh.

"anakku"

Kuncoro langsung bersimpuh, Retno mengelus dahi kuncoro pelan pelan, mereka seperti dalam satu pusat energi yang sama sehingga dimensi dapat dipersatukan. Tangan kuntilanak itu sekarang bisa kuncoro rasakan, sambil bersadar dikaki ibunya yang dilapisi terusan kasar. Tak ada kata yang mampu yang kuncoro keluarkan, dan dia hanya membiarkan rindu membahasa. Mungkin selesai ini dia akan menceritakan, jika keinginannya mampu diwujudkan, dan mungkin permintaan maaf karena dulu jarang pulang ke rumah; tempat taipan tebu itu. Dan saat itu satu yang dia mampu simpulkan dibenaknya, jin pembawa berita itu memberi kabar yang tak mampu dipertanggung jawabkan.

5 menit berlalu, kuncoro masih bisa merasakan elusan jemari ibunya itu.

"nak, kamu mau pergi dengan ibu, kamu rindu ibu kan?"

Kuncoro terdiam sebentar, mengingat ngingat kejadian menjadi praktisi medis benar benar membuatnya dibawah tekanan. Apa salahnya sesekali mengambil jatah liburan, apalagi pasti ibunya kesini juga banyak pengorbanan, pasti menuju ketempat ini butuh waktu dan usaha yang tidak sedikit.

Tangan retno semakin halus menyentuh dahi kuncoro. Perasaan tenang yang dia dapatkan dari retno lebih dari apapun yang ada di dunia ini. karena retnolah yang menggantikan posisi ibu kandung kuncoro paling lama; lebih dari 12 tahun lamanya.

"aku sepertinya harus bersiap siap dulu ibu"kuncoro hendak bangkit tapi dihalangi retno

"tidak perlu, ibu hanya memastikan kau mau nak"

Tanpa berpikir panjang, laki laki muda itu menjawab "mau" sambil mengangguk patuh.

Ruh Jiwa kuncoro seperti akan meninggalkan tubuhnya. Kakinya pelan pelan mendingin seperti disesap sesuatu. Dia sudah berada di dimensi yang berbeda, sedangkan ruh tubuhnya masih tertinggal di sarangnya yaitu raga kuncoro. Raga kuncoro tergolek lemah, seperti orang lelah yang tak mau bergerak, dan jiwanya sekarang menyaksikan kopian dirinya.

"ha...ha....ha......ha....ha...."

Mata batin kuncoro terkecoh dengan retno, sosok yang sebenarnya adalah sosok wanita bertaring dengan lidah menjulur. Matanya seperti mata kucing ditambah alis menukik seperti drakula. Berbadan separuh ular, dan bajunya seperti pakaian kuno di zaman kerajaan. Kuncoro kaget dengan penglihatannya sendiri, berharap bisa masuk ke tubuhnya lagi, tapi tubuh itu sudah dimasuki sosok baru karena tubuh kuncoro asli sudah berdiri, lalu menatap ruh jiwa kuncoro dengan kasihan. Mereka menang.

"jangan main main" suara kuncoro palsu menggema sampai menggoyangkan lampu neon yang tergantung di langit langit. Jiwa kuncoro berusaha memasuki lagi tubuhnya itu, tapi tak bisa, karena bagaimanapun energi dari dunia ketiga susah sekali diambil alih dengan dunia keempat apalagi kuncoro hanya berbentuk jiwa yang mengelana. Dia gaib yang sangat halus, tak tampak, dan mungkin tak banyak orang yang mempunyai kelebihan yang bisa membedakannya dengan jin qorin maupun arwah.

"aku tidak mau"teriak jiwa kuncoro

"kau mau mati?"

Kuncoro palsu mengambil pisau buah diatas nakas, lalu menggores sedikit pergelangan tangannya, sampai beberapa tetes darah jatuh ke ubin keramik.

"jangan coba menyakiti tubuhku atau kau akan menyesal nanti"

Keberangan kuncoro percuma, jiwanya sudah diikat disudut kamar oleh wanita ular tadi. Tubuh kuncoro sudah dibawa sosok lain yang bentuknya saja kuncoro tak kenali, lalu membuka pintu kamar dan keluar. Ntah kemana kuncoro palsu akan pergi.

Finally update juga akhirnya walaupun lama sampai lupa. Kalau ada salah salah kata ntar diperbaiki. Tulisan ini saya persembahkan untuk kalian semua pembaca dupa, dan terkhusus untuk hara karena saya rindu dia sekali. Masih banyak misteri di dupa yang belum terpecahkan, seperti kemisteriusan orang yang aku rindukan itu. see you soon....

DUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang