MATA KETIGA

7.7K 634 13
                                    

Bau amis darah menguap ke angkasa. Memualkan.

Para pekerja disini mulai menikmati makan siang setelah lonceng itu berdentang. Para makhluk pendek, hidung bengkok, tubuh bongkok dengan muka berlubang lubang dengan penampakan tak karu karuan menyeret satu tembikar ketengah kita semua, membagi bagikannya dengan wadah kecil kecil seperti sayak kelapa, lalu diikuti rebutan jin jin kelaparan, kehausan, dengan pergerakan gelagapan.

Salah seorang dari mereka menyodorkan tangan, ini mungkin qorin yang nyasar di dunia jin azhura fasik pikirku sebentar. Darah bersatu dengan mulutnya, lalu saat dia bersuara, terlihat merah di antara deretan gigi giginya yang berkarang.

"kau itu siapa, kenapa bisa nyasar ke dunia seperti ini, oh iya namaku robi"

Ku lap tanganku sebentar yang masih terdapat debu debu dari menjadi kuli batu . Ku salami dia.

"aku kuncoro, panggil aku kun, aku nyasar disini, jonse menjualku kesini dari tadi pagi"

" jadi kau di bawa jonse, kau pernah mengabdi padanya untuk kenikmatanmu di dunia?"

Aku menggeleng. Mungkin yang dia maksud pesugihan,karena ku perhatikan selama tadi pagi sejak aku ditempatkan disini, banyak yang bekerja masih dalam bentuk ruh yang tidak mati dengan sempurna, katanya itu karena menebus jiwa yang telah digadaikan dengan setan.

"terus ada apa denganmu, ku perhatikan kau belum mati, tanganmu juga masih berbau manusia, bahkan bau alam di pakaianmu masih kentara" sambungnya lagi sambil mengendus ngendus ke arahku 

"aku nyasar, karena mencoba memasuki rumah kekasihku yang dibentengi jonse, dan tak ada satupun yang bisa menolongku, sepertinya dimensi alam gaib yang ini sangat sulit untuk ditembus"

Dia mendekatkan jatah makananku yang tadi ku dorong menjauh  karena tak kuat dengan bau amisnya,Dia menerawang, lalu tak lama dengan mata berkaca kaca, dia kembali menjelaskan banyak hal. 

"kau makanlah, fisikmu yang kau tinggalkan pasti menderita sekali di alam nyata, kalau sukma mu makan maka di alammu dia akan keliatan baik baik saja, aku dulu juga tak pernah makan makanan seperti ini kecuali untuk ritual, duniaku terlalu nikmat dengan kugadaikan jiwaku kesetan, aku ikut sekte melawan ajaran keagamaan, demi secercah dunia yang ingin kudapatkan"

Dia menghirup dan menelan darah itu lagi, yang membuat perutku kembali mual. Makanan para jin pada dasarnya beraneka ragam layaknya di dunia manusia. Jin ada yang memakan sari makanan manusia, ada yang memakan tulang darah maupun daging busuk juga, sama layaknya nasi untuk masyarakat asia dan roti untuk masyarakat eropa. Yang membedakan adalah jin yang memakan makananan menjijikan menandakan semakin fasik kehidupan mereka.

Dan aku terjebak di dunia yang tak membawaku berhalusinasi lebih banyak, bahkan anak anak yang disembunyikan wewe gombel pun lebih beruntung dari duniaku sekarang. Pikirkan saja biasanya seorang anak akan di bawa berjalan jalan, lalu akan disuguhkan makanan enak yang mereka sukai walaupun nyatanya itu hanyalah gambaran otak mereka yang direalisasikan dalam bentuk berbeda dari orang tua sementara mereka. Mereka menikmati setiap kasih sayang dari sang wewe walaupun pada nyatanya yang disuguhkan tak lain dalam bentuk kotoran. Tapi setelah pulang mereka masih bisa bilang pengalaman itu mengesankan walaupun awalnya linglung waktu pertama kali ditemukan.

"kau sudah lama disini?"

Dia mengangguk, lalu kembali meletakan wadah itu ke meja batu tempat kebanyakan para bekerja berkumpul.

"kontrakku bersama jin disini sesuai umurku di dunia, aku mati diusia 40 tahun, aku telah menjalani 45 tahun disini"

"seharusnya kau sudah selesai kan?"

"itu waktu perhitungan manusia, disini waktu berjalan lebih lambat, 10 kali lebih lambat, kira kira ada 360 tahun diwaktu manusia aku harus bekerja disini"

Aku terperanjat, teori dari mana, setauku di dunia jin hampir sama dengan duniaku. Mereka hanya membolak balikan waktu siang ke malam, malam ke siang. Malam untuk mereka adalah siang untuk kita begitupun sebaliknya

"kau di dunia lebih halus boy, yang kau liat kebanyakan selama ini hanyalah qorin, kau adalah manusia dimensi ke tiga, sedangkan sekarang kau berada di dunia dimensi ke empat yang lebih jauh dari kehidupan jin jin kelas rendahan seperti itu. Mata ketiga mu itu melihat dunia ini samar samar bahkan tak mampu kau lihat sama sekali. Dan yang kesini tak banyak orang yang mampu, gerbang gaibnya masih banyak yang belum manusia pun jelajahi, gurumu musti mengajarkan kau lagi, apa dia lagi mengusahakan menjemputmu yang tersesat?"

"aku nggak punya guru, aku hanya mengikuti apa yang selama ini pernah aku lakukan hanya itu"

Dia memandangi aku kuatir, seperti telah mengasihi kebodohanku.

"kau nekat, apa ada yang mendoakanmu?"

Doa? Aku rasa aku tak punya keluarga setelah aku tercampakan.

"tidak"

"kau punya orang yang mencintaimu, atau seseorang yang peduli padamu"

"aku hanya tau satu orang yang mencintaiku di luar sana dan dia sudah mati bunuh diri"

"kau manusia seperti apa? Hidup mu seperti apa, jangan bilang hidupmu hanya dipenuhi oleh hantu hantu jelata yang kau anggap teman baik, dan kau mempercayai mereka seperti manusia, bahkan menganggap mereka lebih baik"

Aku mengangguk angguk, tak ada penyangkalan dari tuduhannya.

"qorin sejatinya adalah sisi nafsu dari manusia yang membelokan hati nurani. Mereka memang logis, tapi jika induk semangnya tak mengajarkan diri mereka untuk sifat sifat baik maka qorin tak akan pernah belajar apa apa, ditakdirkan tuhan sebagai saksi hidup yang sebenarnya mereka itu tetap menagganggu keimanan, kau pernah dengar ini, sebaik baik jin adalah seburuk buruknya manusia, aku pun menyesal kenapa dikeyakinan kelahiranku dulu aku malah meninggalkannya, lalu pergi mencari jalan pintas"

Dia menceritakannya dengan tenang, seperti bernostalgia dengan penyesalan

"iya aku pernah mendengarkannya, tapi kau pasti tidak tau apa yang terjadi dihidupku ini, ini nggak semudah yang kau bayangkan"

"ceritakanlah, kau ingin bolos di kerja pertama mu? ikut aku"

Laki laki kurus kering itu menarik tanganku. Kita menyusuri goa goa batu, menembus lorong lorong. Menjauhkan diri dalam keramaian. Lalu dia menyuruhku mempercepat langkahku, saat aku kesulitan dalam menghindari salaktit yang runcing runcing di kakiku. Ini dunia tak kasat mata dan akupun sekarang juga tak kasat mata sehingga tembus tanpa penghalang itu adalah hal yang mustahil, aku tidak tau diposisi mana dibumi ini aku berada, tapi sepertinya sangat jauh dari peradapan.

"kau liat cahaya itu kan, pergilah kesana, kau ceritakan ceritamu kapan saja, luruslah kedepan dunia itu bernama markayangan, kau bisa minta pertolongan disana, mereka sama sepertimu, itu gerbang nya di cahaya tersebut, buruan"

Laki laki itu mendorongku setelah mendengar mulut gua ini bergetar, seperti hentakan kaki dari pada petugas yang menjaga keamanan disekitar sini. Bentuknya yang bisa kujelaskan berupa makhluk tinggi gendut, bermata satu, tanpa baju hanya celana yang berasal dari belacu. Kakinya besar berbulu, dan saat kuperhatikan tadi pagi dia tak beralaskaki dan tak berkuku. Tapi suaranya memberikan gertakan untuk siapa siapa saja yang melanggar peraturan itu mengerikan. Tapi yang paling mengerikan itu saat dia tersenyum, gigi giginya runcing dan tajam tak bisa disembunyikan mulutnya, dengan akar yang menonjol keluar gusi.

"tapi kau..."

"aku akan dihukum tapi tak masalah, saat kau sadar kau doakan aku anggap aja membayar hutang jasa, pergilah, dia semakin dekat"

"tapi"

Robi kembali mendorong bahuku, dia balik ke tempat semula, sepertinya menemui para satpam dari tempat itu. Tapi beberapa dari mereka mengejarku setelah robi gagal untuk mediasi. Saat kaki mereka terlihat olehku dibelokan gua, ku pacu langkahku, aku menjauh dengan kejaran para dedemit dedemit itu, masuk ke sumber cahaya tadi, yang bentuknya seperti pusaran yang benar benar memusingkan, lalu tak lama aku tersungkur ke rumput hijau yang masih basah.

Kesadaranku belum pulih seperti semula tapi seseorang dari dunia itu menyodorkan tangannya agar bisa meraih tubuhku. 

DUPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang