6. Andai bisa

28.2K 3.9K 784
                                    

Hayook siapa yg masih nungguin Aa' calon imam  update?? Ini part bonus  loh soalnya kan harusnya sebulan cuma boleh 2 kali unggah 😊😊

Baek kan Emak! Makanya yg baca juga mesti baek2, kasih support emak lewat komen n votenya biar emak makin baek kali aja bakal ada unggahan ke empat dalam bulan yg sama.

Aku menyelesaikan rutinitasku memasak bekal makan siang sekaligus sarapan dengan menghembuskan nafas panjang lewat mulut.

Semalam tidurku kurang nyenyak, dan saat bangun menjelang Shubuh tubuhku rasanya lemas banget.

Pengakuan A’ Ian jadi beban tersendiri di benakku. Bukannya aku nggak rela Ari di kasih warning atau kalo istilah yang dia pakai ‘senggol’, soal aku yang udah terikat sama A’ Ayi. Tapi kok rasanya nggak etis aja karena menurut aku teguran A’ Ian ke Ari itu terasa nggak pada tempatnya.

Mungkin memang Arius masih ada rasa sama aku, tapi memangnya kita boleh menghalangi hak orang buat sekadar suka?

Iya sih A’ Ayi memang jadi rese’ dan aku jadi repot setiap ada yang nyenggol nama Ari di depannya, tapi itu juga bukan salah Ari … salahnya A’ Ayi kenapa nggak bisa menguasai kecemburuannya dan percaya sama aku.

“Hhhh … rumit!” keluhku sambil menyelesaikan cucian piring yang tersisa usai masak.

“Apa yang rumit?” suara familiar itu membuatku menoleh sekilas, dia masih memakai kain tajung motif intan warna biru muda yang padu serasi dengan baju koko putih lengan pendek, sementara di kepalanya juga masih memakai peci rajut senada yang menjelaskan kalau dia memang baru menyelesaikan ibadah paginya.

Ganteng? Banget!

“Gak A’,” elakku pelan. “Mau kopi A’?” dia hanya menjawab dengan anggukan seraya menatap ke hidangan yang tersaji di piringku.

“Ini apa sih?”tunjuknya ke masakanku.

“Telur orak-arik tahu campur jamur kancing A’! Aa’ mau?”

Kulihat dia menggaruk alis kirinya, “rasanya aneh nggak?”

“Biasa aja sih, aku ambilin ya dikit biar Aa’ cicip,” kemudian tanpa menunggu jawabannya aku berlalu kearah wajan yang masih berisi separuh hasil masakanku tadi.
Mengisinya ke piring buat A’ Ian sambil menghidupkan kompor untuk menggoreng sosis sapi yang kebetulan kotaknya belum kukembalikan ke kulkas.

Aku kembali kehadapan Yang Mulia Mr. Boncabe tak lama kemudian.

A’ Ian tampak curiga dengan apa yang kusajikan, dia mengernyit lama sebelum mengangkat sendok dan mengendus orak-arik yang kubikin. Melihat dahinya yang berkerut-kerut kusut berubah jadi rileks aku tahu kalau dia sudah tidak perlu diyakinkan lagi kalau masakanku aman.

“Masih ada lagi nggak?” Aku baru menghabiskan separuh isi piring saat dia bersuara.

“Apanya?”

“Orak-ariknya, dikit banget, masih lapar?” tunjuknya ke piringnya yang isinya sudah tandas.

“Gita cuma masak sedikit A’,” ringisku nggak enak, “Gita pikir Aa’ masih belum pengen sarapan.”

“Ckk … suka nanggung kalo masak,” gerutunya yang bikin aku ngerasa nggak enak hati. “Minta nasi aja deh sama pindang dari Reira semalem?”

“Pagi-pagi makan pindang, A’? Nanti sakit perut, itu pedes banget.”

“Terus makan apa?”

Aku berbalik melihat kulkas, membuka pintunya dan mengeluarkan sebuah toples kaca ukuran kecil yang terisi kudapan sehat yang rencananya mau kubawa buat cemilan di kantor nanti. “Ada yogurt campur oats sama buah blueberry mau nggak A’?”

Just Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang