11. Bali (2)

17.4K 2.4K 2.1K
                                    

Siapa yang kangen calon imam yang satu ini hayo?  Makasih banyak buat komen n votenya di part lalu ya semakin kalian semangat ngomenin emak makin produktif looh so males ngomen berarti cerita stop sampe disini 😁😁😁

Selamat berbaper ria yaa weekend kali ini mungkin Minggu  depan gak main disini dulu, mau bongkar lapak satunya 😊😚😘 sampe ketemu lagi yaa.

Usai makan siang mama mengajak ke jewellery outlet yang dikehendakinya untuk melihat-lihat perhiasan.  Kebetulan aku mengenal co-owner outlet tersebut bahkan sejak beliau belum bekerjasama dengan bangsawan Bali  yang juga artis itu dan memiliki galeri semewah sekarang.

Beliau termasuk generasi pertama pemilik UKM yang menjalin kerjasama dengan Bukapetak dan kebetulan juga aku pernah menemani Aryoseno  memesan perhiasan berdesain eklusif untuk istrinya.

Desain yang jadi ciri khas outlet perhiasan itu menekankan pada kehalusan dan kemegahan ragam hias dan bentuknya yang aku tahu nggak akan ketinggalan jaman sampai berpuluh-puluh tahun ke depan.

Mama memilihkan dua set desain untuk Gita, satu terbuat dari emas 22 karat dengan desain membentuk mahkota. Sementara yang lain terbuat dari perak dengan tambahan hiasan mutiara air laut kualitas terbaik dan memiliki desain yang lebih sederhana dan modern meski tidak meninggalkan kesan elegannya sama sekali.

Bagus bangetlah pokoknya, tapi jelas bukan aksesoris untuk dipakai sehari-hari. 

Aku sedang menemani Gita melihat-lihat bentuk cincin berhias batu mulia saat seseorang menyapa.

Aku menoleh dan mendapati Dewa Ayu Laksmita, sang co-owner sekaligus maestro perhiasan khas Bali, beliau wanita paruh baya dengan kecantikan khas yang elegan dan selalu terlihat ceria.

“Gus,” sapanya sambil tersenyum lebar.

“Mbok Laksmi,” aku cukup dekat dengannya untuk bisa menyapa akrab.
“Nggak nyangka ketemu di sini, saya pikir Mbok ikut pameran perhiasan di Paris jadi saya nggak telepon dulu kalo mau ke sini.”

“Enggak Gus, sudah capek saya ikut pergi jauh-jauh … biar jadi pekerjaan yang muda-muda, oh ya ini siapa?” tanyanya begitu melihat Gita yang berdiri disebelahku.

“Oh kenalin, Mbok, ini Gita,” aku  memperkenalkannya sambil tersenyum, Gita dengan sopan menyalami Mbok Laksmi kemudian berbasa-basi memuji karya sang maestro perhiasan. Dalam waktu singkat keduanya terlibat dalam obrolan tentang perhiasan,sementara aku memilih menyingkir ke sofa yang berada di tengah outlet dengan niat memeriksa email.

Mbok Laksmi memanggil seorang pekerja untuk mengeluarkan kotak cincin ragam rupa berukiran khas Bali yang di hias aneka jenis batu mulia dan mempersilahkan Gita duduk di depan etalase dan memilih perhiasan yang disukainya dibantu oleh pramuniaga.

“Perempuan ini kelihatannya sabar dan nggak neko-neko orangnya ya Gus.”

“Eh!” aku mengangkat wajah dari layar ponsel dan terkejut saat melihat Mbok Laksmi sudah duduk di sofa tunggal di hadapanku sambil tersenyum menggoda.
“Cocok sama kamu … jangan dilepas, langsung nikahi aja.”

Aduh! Satu lagi nih korban teori cocokologi sama ilmu tebakisme. “Tapi …”

“Mau saya bikinin perhiasan yang cocok nggak buat dijadikan hadiah pernikahan?”

Aku meringis memikirkan banyaknya barisan orang yang salah sangka sama aku dan Gita. Tapi usul Mbok Laksmi boleh juga sih.

Dalam tradisi pernikahan Palembang ada yang namanya tradisi timbangan di mana tangan kedua mempelai ditimbang dengan timbangan kain di satu sisi sedang disisi lain ditaruh kado dari pihak keluarga mempelai pria. Nah kado-kado ini biasanya berupa benda berharga, kadang berupa kain songket, uang dan perhiasan emas.

Just Move OnWhere stories live. Discover now