28. Sakit yang diijinkan

42.6K 4.1K 1.7K
                                    

Belum sempet edit karena emak harus ikut papanya anak2 ngubekin ladang  penghidupan 😁😁😁

Ini part akhir sebelum part akhirnya ... Yang bakalan jadi epilog yang bakalan emak unggah  begitu vote dan komen mencapai angkat tertinggi dari part yg sudah2  (vote dan komen tertinggi ada di part Bali 2 yang udah di hapus)

Sampe ketemu lagi di cerita anak2 keluarga Ilham lainnya ya. 😘😘😘

Aku menghela nafas panjang seraya kembali meneruskan memeriksa data bongkar muat barang di gudang Palembang yang menjadi tugas harianku walau faktanya aku sedang tidak berada di Palembang.

Minggu ini adanya peningkatan purchase order membuat pengiriman barang dari pabrik ikut melonjak, secara ekonomis memang terlihat menguntungkan tapi pada prosesnya hal ini tentu saja membuat kepala gudang gusar karena lonjakan itu nggak sesuai untuk kapasitas daya tampung gudang juga kinerja para buruh bongkar muat.

Karenanya aku harus putar otak menentukan kemana kelebihan muatan tersebut harus di lempar.

Aku sudah menghubungi pihak marketing untuk bantu follow up langsung ke gudang milik ritel dan stockiest outlet, beberapa menyetujui dan beberapa menolak dengan alasan gudang mereka juga penuh, disaat seperti ini tidak ada cara lain selain meminta kebijakan agar barang sementara bisa ditampung di depo milik Rakyan Buana.

Itu baru masalah di kantor, belum lagi masalah di rumah, sudah dua hari berlalu sejak kepulangan kami dari Palembang, dan masih belum ada kabar yang jelas terkait rencana pertemuan antara A’ Ian dan papa.

Sudah dua hari pula aku bisa merasa Aa’ yang terkesan uring-uringan meski nggak pernah ditampakkannya saat bersamaku.

Di depanku Aa’ bersikap seperti dia yang biasa, tetap jutek tapi gemesin dan tetap rajin memesraiku kapanpun ada kesempatan, hanya saja kadang disaat dia sendiri aku kerap melihat mendung yang membayangi ekspresi di wajahnya.

Tak ada yang bisa kulakukan selain memanjakannya dengan makanan dan membiarkannya mencari kenyamanan dariku, seperti yang dilakukan sejak malam kepulangan kami.

Hanya saja aku tahu kalau selagi pertemuan dengan Papa belum terlaksana, batin juga emosi Aa’ tidak akan bisa tenang.

“Lo akhir-akhir ini kayaknya keseringan begadang ya Git?” aku baru saja memutuskan hendak menghubungi Mbak Sinta, tangan kanan bos Rakyan Buana untuk minta bantuan saat Renata mendekat dan mengambil alih perhatianku dengan komentar dan caranya saat menatapku.

“Kok tau?” aku balik bertanya.

“Nggak … cuma heran aja, wajah lo kok suram banget, biasanya kulit lo kan glowing gitu … bersinar-sinar kayak lampu pijar, cuma gue perhatiin udah beberapa hari ini lo kayak capek banget gitu … kenapa? Masih mikirin Rayyi?”

Aku berdecak seraya menggeleng pelan, “nggak sih … cuma memang lagi susah tidur aja,” kilahku cepat, sementara hati justru menggerutui laki-laki yang jadi penyebab kurang tidurku.

Gimana nggak kurang tidur kalau setiap malam diulenin sampe tiga putaran penuh, untung walo bonsai-bonsai gini buatan Tuhan jadinya ya mau diulen atau di uleg juga gak ngaruh banyak, adanya juga enak-enak aja tuh.

“Ish pantes … lo perlu perawatan deh kayaknya, kantong mata lo udah dalam tahap mengkhawatirkan, mulai jerawatan juga loh di dahi.”

Tanpa sadar aku memegang pipi dan dahiku dengan tapak tangan dan memang bisa merasakan kulitku terasa kering dan terasa bruntusan di bagian jidat,  “aduuuh … aku harus gimana dong Mak?”

“Ya gimana kek, beli suplemen tambah darah, istirahat yang cukup … beli skincare yang mumpuni,”

“Skincare!” ulangku ragu, “perlu banget ya?”

Just Move OnWhere stories live. Discover now