26. Handle gih!

39K 4K 712
                                    

Bonsai sama boncabe kalo punya anak gimana ya bentuknya, apa bonsai dicabein, apa cabe dibonsai-in 😸😸😸

Btw edit ini tuh penuh perjuangan, tau nggak! Sebab emak lagi dalam perjalanan keluar kota untuk mencari inspirasi cerita baru. Mana part-nya panjang lagi. Oh ya palingan 2 part lagi udh kelar ini, so tolong komen sama votenya dong ya di kencengin, biar bisa kenceng juga unggahan berikutnya 😏😏

Sampe ketemu di part berikut ya para pecinta pecekor (PErebut CEweK ORang) , love U.

Baru juga nikah eh tahu mau dipisah itu rasanya kok ngeselin banget sih.

Mana saat aku meminta agar Gita resign, meski setuju, Gita menjelaskan bagian etis dan nggak etisnya kalau dia langsung cabut begitu aja dari Danares tanpa menunggu pengganti.

Bete? Udah pasti! Tapi di sisi lain aku bisa menerima penjelasan istriku itu, biar bagaimanapun aku tahu rasanya gimana kalo ditinggal karyawan tanpa sempat mencari pengganti untuk mengambil alih tanggung jawab yang ada.

Cuma masalahnya yang bikin aku super jengkel itu, Gita nggak bisa memastikan butuh waktu berapa lama untuk bisa resign setelah mendapat pengganti. Bisa jadi setengah tahun, bisa jadi malah setahun.

“Di Danares logistik itu pekerjaan yang sepi peminat A’,” begitu dia memberi alasan. “Kerjaannya repot, mesti siap handle banyak bidang sekaligus, mesti bisa komunikasi sama kepala gudang yang galaknya minta ampun, mesti jalin hubungan baik sama pihak ekspedisi, mesti kontrol bagian faktur juga, banyaklah pokoknya.”

Mesti sambil pasang wajah lempeng bin cemberut sebenarnya aku takjub dengan kemampuan Gita menghandle kerjaannya.
Juga mulai berpikir serius dengan kemungkinan kalau dia yang biasa sibuk mendadak mesti resign dan jadi istri rumah tangga apa nggak  bakalan kagetan.

Menimbang hal itulah aku akhirnya berusaha menerima kalau kami terpaksa LDR untuk sementara.

Efek pengakuan Gita semalam membuatku sulit tidur meski si mungil bonsai kesayangan ada dalam pelukan. Akibatnya aku baru terbangun sudah mepet waktu Shubuh dengan perasaan malu karena saat itu Gita  malah sudah siap dengan mukenanya.

Pengennya sehabis sholat bisa tiduran aja di kamar, tapi sikonnya lagi di rumah mertua bikin nggak enak hati, alhasil usai shubuh aku ikut Gita turun ke bawah, menontonnya memanggang chapatti* sambil menghangatkan daging yang ditumis bersama kacang merah dan mengeluarkan acar dari kulkas.

“Kamu kok nggak pernah masak chapatti di apartemen?” tanyaku saat dia memberikan hasil panggangan pertamanya untuk kucicipi.

“Nggak ada alat panggangnya A’, Gita juga nggak tahu Aa’ suka apa nggak.”

“Dulu waktu tinggal di sini juga Bunda sering masak chapatti kok, jadi udah nggak kaget lagi lidahnya.”

“Ya udah nanti Gita beli deh alat panggangnya, jadi bisa bikin, Gita lebih suka sarapan pake chapatti sih daripada nasi.”

Aku mengangguk setuju, “ kok chapattinya ada yang warna hijau?”

“Gita tambahin sari sayur sawi A’,” jelasnya sambil tersenyum. “Biar sehat.”

“Oh! Nanti habis sarapan kita keluar yok Git.”

Gita menatapku sekilas, “mau kemana A’?”

“Aa’ udah bikin janji temu sama temen Aa’ yang notaris, kita kan mesti balik nama kepemilikan rumah.”

Gita mengangguk paham.

“Terus Aa’ mau kenalin juga ke desainer interior biar kalau ada yang mau dirombak kamu bisa bicara sama orangnya langsung,” sejak rumah yang kujadikan mahar untuk Gita selesai dibangun, tata interior juga beberapa furnitur di dalamnya masih belum lengkap.

Just Move OnDonde viven las historias. Descúbrelo ahora