15. Arah hati & gelombang batin (2)

33.4K 4.1K 1.8K
                                    

Hayook masih ada gak sih yang nungguin cerita ini?

Sori lama ... Akhir2 ini banyak kesibukan di dunia nyata. Banyak bepergian keluar kota kemudian tepar tak terkira.

Tapi demi kalian semua tetep kok bela2in  unggah. So jangan males ya komen sama kasih vote, jangan pas mau nagih aja pada nongol. Giliran habis baca imam kesayangan dicuekin.

Ntar ngambek gak mau nongol loh 😊😊😊

Karena penundaan akibat hujan, juga karena asyik beramah tamah dengan karyawan di kantor Aa’, kami sampai di rumah Reira hampir jam sepuluh malam.

Saat kami tiba hanya Rean dan A’ Yayan yang masih terjaga, duo Ilham yang kalem dan yang pecicilan itu terlihat sedang ngopi dan makan pisang goreng di teras sambil bertarung di aplikasi game online.

“Mama mana?” tanyaku usai  mengucap salam pada keduanya.

“Di kamar Cek, sudah tidur kayaknya,” Rean yang menjawab. “Cek langsung aja deh ke kamar yang dekat tangga,” suruhnya lagi yang kontan kuangguki.

Sambil membawa tas yang berisi pakaian ganti serta beberapa alat make up aku melangkah masuk ke dalam rumah Ira. Sementara A’ Ian menghampiri adik-adiknya dan duduk bersama sambil menantang keduanya buat mabar.

Aku mengetuk pintu kamar pelan sebelum membuka dan mengintip hati-hati, diatas ranjang Mama Nuraida duduk sambil melantunkan ayat suci dengan suara lirih, menyadari kehadiranku dia mengakhiri tilawahnya dan tersenyum padaku.

“Kok baru nyampe?” tanyanya sambil menaruh alquran mungilnya ke nakas di samping tempat tidur.

“Keujanan Ma, Aa’ juga ngajak mampir ke kantornya dulu. Lama di sana jadinya,” sahutku seraya melangkah masuk ke kamar. Meletakkan tasku ke kursi rias yang ada di sana sebelum memeluk mama yang masih menggunakan mukenanya.

“Mama baik-baik aja kan, Ma?” suaraku terdengar serak dan lirih saat bertanya.
Efek emosional yang kurasakan paska berita ini aku ketahui.

Usapan lembut tangan beliau dipunggungku lah yang pada akhirnya mampu menenangkan pikiranku.

“Kayaknya malah kamu yang kelihatan nggak baik deh Git!” sahut Mama sambil melerai pelukanku sekedar untuk menghadiahkan cubitan lembut dipuncak hidungku. “Rayyi gimana? Sudah ngobrol sama dia?”

Aku menggeleng sedih. “Di saat kayak gini seharusnya kan Aa’ bisa sama-sama Gita … tapi Aa’ justru seperti nggak butuh Gita, Gita sedih banget Ma.”

“Laki-laki dan egonya!” mama mendesah pelan. “Untuk sementara biarkan dulu Rayyi menenangkan pikirannya … dia pasti tahu kapan saat yang tepat untuk menemui kamu. Yang sabar ya Git!”

Aku mengangguk mantap. Merasa ragu-ragu sejenak untuk menanyakan apa yang menjadi keingintahuan terbesarku saat ini, “apa bener Mama sama Papa mau pisah?”

Mama tersenyum tipis, “Afgan bilang jodoh pasti bertemu, tapi sebenarnya Afgan salah loh Git!” Aku menatap mama nggak paham dengan kalimatnya yang retoris. Mama membuka mukena yang dikenakannya dan melipatnya sebelum meneruskan kalimatnya. "Yang bener itu, jodoh pasti bercerai.”

Ya iya sih! kalo nggak cerai hidup ya cerai mati. Tapi kan ini  … gimana ya ngomongnya!? Jujur karena dalam keluarga besarku nggak pernah nemu kasus perselingkuhan apalagi perceraian, ini jadi terasa sulit untuk diterima terlebih ini terjadi justru di keluarga yang terkait dengan masa depanku. Jujur aku merasa sedikit syok. 

“Keputusan Mama … apa nggak bisa dipikir ulang lagi Ma?”

“Ini sudah bukan lagi keputusan sepihak dari Mama aja, saudara-saudara kamu yang lain … terutama Ido, mereka yang meminta Mama mengambil sikap tegas, dan Mama juga sudah lelah dengan Papa yang nggak pernah berusaha untuk bertobat bahkan disaat usia kami sudah nggak muda lagi.”

Just Move OnWhere stories live. Discover now