20. Meragu (1)

27.2K 3.9K 973
                                    

Selamat menunaikan ibadah puasa ya bagi yang menunaikannya.

Yang kangen sama Aa' calon imam tunjuk tangan dooong?

Nih emak bawak balik lagi bujang (menjelang) jompo kita yang masih betah menjomblo.

Btw dedek kesayangan lagi galau, liat aja tuh judulnya👆👆👆 kasih tau dong dedeknya mesti gimana biar gak meragu 😏😏 kan emak udah ngebet pengen mantu 😋😋😋

Oh ya makasih ya buat pengertiannya ke mamak yang sempat mandeg untuk alasan kesehatan minggu2 kemarin. Agak sedih, tapi si dedek ternyata gak bisa bertahan ikut ortunya sampai lahir. Belum rejeki kali ya punya anak cewek ☺️.

Ya udah selamat berempati sama kesuraman keluarga Ilham di hari pertama bulan suci Ramadhan ya say. Love U all.

*****

Kami menunggu hingga lebih dari satu jam sebelum diijinkan untuk menemui Papa Ilham di ruang pertemuan khusus bagi keluarga untuk menemui tahanan KPK.

Selain keluarga inti, Ama Rasha istrinya, dan aku, ada tiga orang pengacara yang turut hadir, meski demikian A' Ido telah mengatur agar anak-anak keluarga Ilham masuk lebih dulu baru setelahnya Mama, Ama Rasha dan tim pengacara yang masuk.

Usai petugas memberitahukan kami boleh masuk dengan rentang waktu tak lebih dari dua puluh menit, A' Ido di damping Mbak Risma melangkah di urutan terdepan, disusul oleh Reira yang menggunakan kursi roda dan di dorong oleh Aziz.

A' Ian, A' Yayan, aku dan juga Rean menggiring langkah di belakang mereka semua.

Jelas ini tidak akan jadi reuni keluarga yang penuh kehangatan dan menghibur Papa Ilham di tengah kesulitan yang menimpa beliau. Pada tiap anak-anak Ilham, selain A' Ian, aku justru bisa merasakan emosi pekat yang terpendam dalam hati dan muncul di raut wajah mereka yang suram.

Wajah para menantu pun tak jauh berbeda. Aziz juga Mbak Risma terlihat sama suramnya dengan Ilham bersaudara. Mbak Risma jelas mengkhawatirkan resiko lepasnya kontrol emosi A' Ido, sementara Aziz memendam kekhawatiran terselubung akan dampak ini semua untuk kesehatan Ira dan calon anak mereka namun dibanding Mbak Risma yang tampak gugup, laki-laki itu cukup pintar untuk menyembunyikannya dari sang istri.

Satu persatu kami masuk ke ruang pertemuan yang nyatanya lebih mirip ruang introgasi layaknya di film-film aksi asal Hollywood.

Tidak ada cukup kursi yang disediakan di sana hingga aku, Rean, Aziz juga A' Yayan memilih untuk berdiri di belakang kursi yang di duduki oleh A' Ido, Mbak Risma sebagai anak menantu tertua dalam keluarga.

A' Ian yang terakhir masuk ke ruangan dengan enggan berdiri di tepi pintu, bersandar dengan tangan terlipat di depan dada, ekspresinya menunjukkan rasa enggan ada di sana namun tidak sedikitpun aku bisa meraba emosinya lebih dalam lagi.

Tidak ada kebencian ataupun amarah seperti saudara-saudaranya yang lain tapi bagiku itu jadi bukti kalau selama ini Aa' sudah membangun benteng mental yang tak mudah ditembus hingga bisa membuatnya terlihat seperti itu.

Tak lama kemudian pintu yang berlawanan dari tempat kami masuk terbuka, di dampingi seorang petugas Papa Ilham keluar dari baliknya, aku, Mbak Risma dan Aziz seketika berdiri menghampiri untuk mencium tangan beliau, tapi tidak satupun dari Ilham bersaudara bergerak untuk melakukan hal yang sama.

"Papa sehat?" kudengar Mbak Risma bertanya pelan diantara isak. Papa tak menyahut hanya mengangguk sambil tersenyum lelah. Wajah beliau tampak kuyu, cekungan gelap di bawah mata tampak jelas menunjukkan kalau beliau tidak mendapat cukup istirahat selama beberapa hari ini.

Seakan sadar kalau aku memperhatikan, tatapan Papa teralih padaku. "Gita," panggilnya lirih, "maafin Papa ... karena Papa, Rayyi,"

"Udah Pa ... udah," potongku cepat seraya menyeka airmata yang muncul begitu saja. "Jangan mikirin Gita dulu ... Gita baik-baik aja kok," kalimatku terhenti saat terdengar dengus ejekan dari balik kepalaku.

Just Move OnWhere stories live. Discover now