21. Meragu (2)

28.5K 4.2K 1.3K
                                    

Ada yang kangen dengan presiden jomblo 24 karat Indonesia gak sih!? 😁😁

Kalo kemaren dedek manis yang meragu kali ini ketemu sama POV nya Aa' yang kebetulan sama meragunya dengan dedek Gigit anak Pak Arif.

(Jodoh banget gak sih! Sampe meragu pun kudu couple-an 🤣🤣)

Yok baca aja yoook, btw JANGAN LUPA DI KOMEN & VOTE yaaaa semangat kalian buat ngekomen di mari adalah booster terbaik buat emak lebih giat unggah2 loh.

Part selanjutnya diunggah sesuai dengan amal dan komen pembaca yak 😘😘😘

*****

Bertahun-tahun lamanya aku menunggu
hari ini, hari di mana lelaki yang darinya separuh diriku berasal akhirnya jatuh dalam kehinaan, rasa sakit, juga kehilangan.

Seharusnya aku tertawa senang karena pada akhirnya melihat dia mengemis-ngemis maaf pada anak-anaknya dan juga mama tapi yang kurasakan justru sebaliknya.

Hambar.

Nyatanya rasa bahagia melihat kejatuhannya sama sekali tidak muncul, keinginan untuk ikut mencercanya juga hilang seiring dengan tidak adanya ikatan batin yang tersisa lagi dalam hubungan kami sebagai ayah dan anak.

Meski aku sedikit kasihan padanya tapi keinginan untuk membantu tentu saja tidak ada.

Begitu mama keluar dari dalam ruang pertemuan, aku langsung memeluk beliau. Tidak ada tangis di paras keibuan wanita yang melahirkanku itu, justru senyum leganya terkembang indah seperti yang pernah dijanjikannya bertahun-tahun lalu saat aku mendesaknya untuk meninggalkan Papa yang makin semena-mena tingkah lakunya.

‘Mama nggak menyesali pilihan Mama untuk bertahan Ian, Mama cuma kehilangan suami tapi mama masih memiliki kalian berenam … suatu saat nanti Mama yang akan berdiri di pihak yang menang Ian, menang saat menjalani suratan takdir yang sudah digariskan Allah, kamu liat saja nanti … saat kemenangan itu datang Mama akan menyambutnya dengan tersenyum’

“Selamat ya Ma,” bisikku ditelinga beliau menahan haru akibat ingatan lampau yang baru saja muncul kembali. “Mama benar … Mama pemenangnya.”

“Karena Mama punya kalian berenam,” balasnya seraya terkekeh dan menyeka airmata di sudut-sudut mata. Kemudian Mama ikut menarik Gita yang berdiri disebelahku, menonton kami sejak tadi dengan mata jelmaan keran bocornya yang sudah basah dan memerah sejak melihat mama keluar tadi.

“Gita nggak tahu mau bilang apa sekarang,” suaranya terdengar lirih di telinga, “tapi selama Mama bahagia, Gita juga bahagia.”

Aku mendengus lucu mendengarnya bicara seperti itu, mulutku gatal rasanya ingin berkata kalau Mama tuh hanya bahagia kalau dia jadi menantunya dan aku yang—menurut mama—jomblo menjelang jompo pada akhirnya bisa nikah. 

Aaah … kapan sih kita pada akhirnya  bisa mikir dalam satu kerangka yang sama Git! Hatiku bergumam menyuarakan isinya. 

Ama Rasha muncul di balik punggung Mama, “masih banyak yang harus kita bicarakan, Nura!” katanya tanpa basa-basi.

“Ajaklah anak-anak kerumahku … kita harus membahas soal warisan Ubak dan siapa yang harus mengurusnya, karena menurutku lebih baik warisan berada dalam kendali satu tangan dan itu jangan sampai mengorbankan karir Ido dan Rian.”

Aku menatap Ama heran, lelaki itu sampai sejauh itu ikut memikirkan kami padahal selama ini Ama lebih banyak berada di luar negeri karena kedudukannya sebagai dubes Indonesia untuk Kerajaan Belanda.

“Baiklah Yai, nanti saya akan bicara dengan anak-anak.”

Ama Rasha mengangguk kemudian memeluk Mama seraya membisikkan kata-kata penghibur dalam bahasa asli suku mereka yang tidak bisa kuikuti tapi bisa kumengerti.

Just Move OnWhere stories live. Discover now