22. Lamaran

32.4K 4.2K 1.1K
                                    

Jomblo 24 karat balik, barisan calon makmum tunjuk tangan dong?

Sori telat unggah, kebetulan tekanan darah rendah emak kumat dan mesti istirahat dulu sampe balik sehat lagi.

Btw di part2 awal ada reader baru deh kayaknya yg protes tentang karakter Aa' dan Gita yg 'kasar' kalo ngomong, padahal dua2nya digambarkan sebagai muslim, apalagi Gita pakai hijab.

Duh maaf ya, sebagai author aku berusaha jujur dalam bercerita aku bikin dua karakter disini sangat apa adanya, yg cowok nyinyir bin jutek, yg cewek beraninya cuma ngebatin sambil ngatain diem2 😁😁. 

Jadi karakter asli orang Palembang tuh secara umum (walo nggak semua) memang kayak Aa' dan Gita, yang cowok kalo ngomong blak2an apa adanya dan emang kesannya kayak kasar gitu, tapi yg jelas ceweknya gak gampang baperan juga sama kayak Gita tuh, yang udah dikatain  bonsai, keran bocor, sampe telegu tapi gak marah karena emang udah terbiasa sama pola interaksi seperti itu.

So maaf kalo di sini protagonis berhijabnya bukan tipe ukhti2 santun kayak cerita sebelah, maaf juga kalo protagonis cowoknya masih suka nyinyir (bahkan ke babe nya sendiri) meski hatinya udah kasih pengampunan dan maaf.

Hal yg paling baik kan adalah jadi diri sendiri nggak berusaha meniru orang lain, so biarlah Aa' dan Gita tetap jadi orang Palembang sejati dengan segala ke'kasar'annya 😊😊

(Masih tetap) Love u all my readers.

**********

Hari Jumat tiba, dan waktuku kembali masuk ke kantor setelah ijin selama tiga hari yang Arius beri untukku berakhir.

Memikirkan soal Arius setelah apa yang terjadi di Bandung membuat aku merasa malu untuk bertemu dengannya. Tetapi aku tahu pilihan untuk menghindar bukan hal yang bijak.

Jadi pagi-pagi sekali aku memutuskan untuk menghampiri Ari di ruang kerjanya dengan beberapa kotak penganan khas Bandung yang kubawa juga untuk teman-teman di kantor. 

Di depan pintunya kami berpapasan, aku mencoba untuk tersenyum tanpa beban dihadapannya. “Hai,” sapaku, “aku tahu kamu udah sering ke Bandung, tapi nggak ada salahnya kan tetap mencicipi bolen favorit sejuta umat.”

Ari balas tertawa renyah dan mempersiapkanku masuk, kebetulan OB kantor yang biasa mengantar jatah kopi pagi datang ke ruang Ari sehingga dia dengan leluasa meminta tambahan segelas teh untukku.

“Jadi gimana dengan Rayyi?” tanpa banyak basa-basi Ari bertanya.

“Kelar.”

Mata Ari yang sipit membelalak tak percaya, “seriusan? Kamu bisa secepat itu bikin final decision terkait hubungan kalian?”

Aku menatap Ari sambil mengernyit bingung dengan komentarnya, “kok kamu ngomongnya gitu?” 

“Sebab ini nggak kayak kamu Git. Gita yang aku kenal pasti akan selalu minta pertimbangan keluarga dulu terkait apapun yang akan kamu lakukan, apalagi untuk hal sepenting engagement.”

Hmm iya juga sih! aku tercenung beberapa saat memikirkan alasan kenapa aku bisa memutuskan untuk mengakhiri hal sepenting perjodohan dengan begitu cepatnya. Tiba-tiba saja wajah Aa’ dan sikapnya yang sinis, tegas tapi selalu tepat sasaran dalam melihat dan menyelesaikan suatu masalah terbayang di mata.

Ya Allah, apa sebegitu berpengaruhnya dia untukku, hingga rasanya sekarang aku bahkan bisa ikut tertular pola pikirnya. Cepat kusingkirkan pikiran itu saat kulihat Ari masih menunggu jawaban.

“Aku lelah sama hubungan kami, dan saat dia kasih alasan kuat untuk berpisah maka pilihan yang aku buat adalah menyelesaikan.”

Arius mengangguk setuju dengan alasan yang kukemukakan, “lalu apa yang akan kamu lakukan selanjutnya?”

Just Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang