10. Bali (1)

13.8K 2.4K 968
                                    

Full POV nya Gita kali ini,  part depan baru deh didominasi sama Aa'

Suka banget deh liat komennya rame kayak kemaren jadi bikin emak semangat gitu , teruskan yaaak.

Suara alarm yang membangunkanku saat shubuh membuatku membuka mata dengan sedikit susah payah, suara debur ombak yang pecah di bawah tebing karang tak jauh dari vila pribadi tempat kami menginap membuatku tersadar sedang ada di mana.

Kami tiba di vila jam sebelas malam dan aku menempati kamar yang sama dengan mama karena kami sama-sama terlalu penakut untuk tidur di kamar terpisah meski Aa’ sudah booking vila dengan tiga kamar tidur.

Aku tersenyum lebar lalu bergegas duduk dan baru tersadar Mama nggak ada di sebelah. 

Setengah melompat aku turun dari tempat tidur dan bergegas menuju pintu yang rupanya tidak tertutup sepenuhnya, di ruang tengah vila kulihat Aa’ dan mama duduk bersisian menatap teve yang menayangkan acara kajian islam.

Aa’ menatap mama dengan seksama sementara tangannya merengkuh bahu mama seakan menunjukkan perlindungan.
“Kita pikirin itu nanti, ya Ma,” sayup kudengar suara Aa’. “Sekarang kita liburan dulu.”

Mama mengusap mata dengan punggung tangan sebelum mengangguk sambil tersenyum tipis. Aku sungguh nggak tahu apa sebabnya, tapi aku yakin kalau mama menangis!

Pikiran buruk merasuk dalam benakku meski begitu sebelum mereka sadar kalau aku melihatnya aku berbalik dan merapatkan pintu dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan menunaikan kewajibanku.

Usai sholat dan berdoa aku nggak langsung melepas mukena, entah kenapa obrolan antara Aa’ dengan mama tadi mengganggu pikiranku. Apa ada hubungannya dengan rencana pernikahanku dengan A’ Ayi, ya? Hatiku bertanya-tanya sendiri.

Aku dan keluarga sudah sedapat mungkin mengatur rencana pernikahan dengan sederhana. Beberapa kali bahkan sempat selisih pendapat dengan A’ Ayi soal lokasi resepsi.

Aku pinginnya resepsi di rumah aja, toh halaman rumah Ayah di kawasan Seduduk Putih cukup luas dan nyaman … karena termasuk lingkungan perkampungan lama tetangga disekitar juga lebih toleran dan cukup memiliki rasa kekeluargaan untuk saling membantu.

Tapi A’ Ayi nggak terima dan milih sewa ballroom hotel Aston untuk resepsi yang jelas butuh biaya nggak sedikit.

Perempuan mana sih yang nggak pengen kalo nikah yang akad sama resepsinya digelar dengan mewah, tapi tentu aja mesti nyadar diri dengan sikon keuangan. Keluarga A’ Ayi memang berada, tapi kan itu orangtuanya sementara aku cukup tahu isi kantong A’ Ayi itu gimana.

Alasan kenapa mas kawin yang kami berdua sepakati di angka tiga suku aja ya karena pasal keuangan juga sih awalnya, aku bersikeras kalau mas kawin untukku harus dibeli dari uang hasil kerja A’ Ayi sendiri.

Sebenernya mau minta emas satu canting* pun bakal diturutin A’ Ayi tapi ya itu uangnya pasti hasil minta sama Papa Mama. 

Mana kurang dari setahun lalu mereka baru menyelenggarakan pestanya Reira Aziz juga. Ya Allah, aku mesti gimana kalo sampai rencana pernikahanku ini ternyata memberatkan keluarga mereka.

Kuusap wajah dengan dua tapak tangan kemudian melepaskan mukena dan memasang jilbab segiempat yang jadi bagian outfit-ku hari ini, berharap dengan melakukannya bukan sekedar auratku yang tertutupi tapi juga suasana mendung yang menggelayuti benakku.

Tepat di saat aku baru kelar dandan mama masuk ke kamar.

“Kita sarapan yok, Aa’ ngajakin tuh.”

“Nggak sarapan di sini aja Ma?”

Just Move OnWhere stories live. Discover now