2 (2) Kematian dan wasiat

9.7K 1.7K 133
                                    

Masih ada yang nungguin Babang tampan yang beneran tampan?

PTM  belum lanjut, mungkin buat seminggu sekali aja kayaknya.

Dari semua hal buruk yang menimpaku di hari yang sama, setidaknya pemakaman tamong dalom berlangsung lancar dan khidmat.

Pelayat yang ikut mengantar jenazah tumpah-ruah memenuhi jalan menuju pemakaman yang biasanya jarang dilewati oleh kendaraan.

Ketika upacara pemakaman selesai, dan seluruh keluarga hendak meninggalkan kompleks pemakaman, aku memilih untuk tinggal lebih lama dengan alasan ingin menziarahi makam ayah juga nenek.

Aziz diminta Kajong Raihani menemani. Apa yang tidak bisa kutolak meski itu bukan yang aku inginkan.

Dengan segala tekanan yang kudapat hari ini, waktu  untuk menyendiri adalah apa yang seharusnya kudapatkan. Tapi ditemani oleh Aziz jelas lebih baik ketimbang harus berdebat dengan tetua keluarga.

Kompleks pemakaman suku-suku di sumatera yang mendiami dataran tinggi biasanya berada di puncak sebuah bukit yang memiliki puncak datar cukup luas, dekat dengan aliran air, ladang atau tanah adat yang peruntukannya ditujukan untuk kepentingan bersama.

Kompleks pemakaman juga harus terpisah dari perkampungan, pasar, juga sumber mata air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.  

Generasi baru keluarga punyimbang di Lampung Barat memilih untuk membangun makam keluarga di dalam kompleks istana mereka masing-masing, akan tetapi keluarga Patranegara lebih memilih menggunakan kompleks makam yang merupakan tanah wakaf milik punyimbang ke-27 yang letaknya cukup jauh dari Lamban Balak. 

Tidak ada pembedaan di sini, seluruh penduduk pekon Kembahang, juga pekon lain yang masih satu marga dengan kami dapat dimakamkan di sini, meski demikian sebagai pemimpin marga, keluarga Patranegara memiliki areal tersendiri yang letaknya jauh lebih tinggi dari makam-makam keluarga lainnya.

“Hati-hati!” Aziz memberi peringatan saat dengan penuh perhatian membimbing langkahku menuju bagian yang letaknya lebih ke belakang.

Meski fasilitas jalan di kompleks pemakaman sudah diperbaharui tetapi cuaca lembab cenderung basah di Liwa, juga jarangnya orang yang berkunjung ke makam membuat setapak itu ditumbuhi lumut tebal yang bisa membawa akibat fatal kalau sampai aku terpeleset.

Makam Ayah berada kurang lebih seratus meter dari letak makam kakek, tepat disebelah makam nenek. Dulu tanah kosong di sebelah kiri makam beliau direncanakan sebagai tempat peristirahatan untuk bunda. Tapi menjelang kematiannya, bunda justru menolak untuk dimakamkan di tempat ini entah karena alasan apa.

Aku sudah tidak lagi mengenali makam ayah, terlebih makam itu telah dipugar dan dipasangi nisan pualam putih bertuliskan nama beliau dalam aksara Khad Lampung.

Hanya pohon cemara udang yang berdiri kokoh di belakang pusara makamlah yang masih membuatku ingat kalau itu adalah tempat peristirahatan terakhir lelaki cinta pertamaku.

Di sisi pusara aku berlutut, tanganku terulur menyentuh batu nisan yang terasa dingin dan lembab.

Apapun yang hendak kubisikkan, tenggelam oleh sensasi kering dan sesak yang mencekat tenggorokan.
Berbanding terbalik dengan itu, mataku justru terasa kabur dan panas.

Sepanjang prosesi pemakaman kakek aku tidak menangis sedikit pun, tapi berada di depan makam ayah rupa-rupanya membuatku kehilangan kemampuan untuk tetap berpura-pura tegar.

Dan apapun yang sudah berhasil aku tahan … hancur di keheningan sore itu.
 
Entah sudah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk menangis, hanya saja saat aku berdiri sinar jingga matahari sore menyinari sekeliling kami dengan kemagisannya.

“Ayo kita pulang,” ajakku pada Aziz yang sejak  tadi memilih untuk diam.

Entah kenapa sikapnya yang dingin dan menjaga jarak justru membuatku tenang.

Di depannya aku tidak harus menyembunyikan kelemahan, dalam diam Aziz seakan memberi kesempatan untuk bisa mengatasi rasa duka dengan caraku sendiri.

Untuk sesaat sempat terpikir, mungkin semuanya akan jadi lebih mudah kalau Aziz yang jadi tunanganku.

Tetapi, jelas tamong dalom tidak akan melakukannya. Aziz dan aku sama-sama penerus untuk marga kami masing-masing, kesetaraan derajat kami dalam adat menjadikannya secara alami terhapus dari pilihan jodoh yang sesuai untuk dapat dilakukannya tradisi tegak tegi. 

“Apa kamu yakin dengan keputusanmu, Ta?” setelah lama berdiam diri Aziz buka suara begitu mobil yang dikendarainya bergerak meninggalkan pemakaman.
Aku tersenyum tipis tanpa repot-repot menoleh.

“Kamu tentu lebih tahu apa akibatnya kalau mengabaikan wasiat Punyimbang,” jawabku perlahan.

“Kamu tidak terlihat seperti perempuan yang bisa menerima paksaan seperti itu dengan lapang hati,” balasnya tanpa basa-basi.

“Lalu aku harus bagaimana?” Aku balik bertanya seraya mengalihkan pandanganku ke arah deretan rumah panggung di sisi kanan kiri jalan yang kami lalui.

Pilihannya untuk diam menghadirkan sensasi aneh di sekeliling kami. Bahkan tanpa kata-kata intuisiku memberitahu kalau Aziz diam bukan karena dia tidak tahu apa jawabannya, tapi karena tahu kalau jawabannya mungkin akan membawa dampak yang tidak diinginkan.

“Kalau aku yang cucu punyimbang saja tak patuh pada adat apa kamu yakin masih ada kerabat lainnya yang akan patuh pada tradisi?” kembali kutatap Aziz dengan mataku yang terasa agak pedih dan sedikit bengkak.

“Lagipula aku tidak ingin dikenang sebagai orang yang menghancurkan adat istiadat yang sudah ada sejak ratusan tahun.”

“Itu berarti kamu harus menerima menikahi orang yang sama sekali asing.”

Airmataku menetes mendengar pertanyaan yang dia ajukan. Aku memang tidak terlahir dan dibesarkan di sini, aku juga membenci kota ini sebesar rasa cinta dan rinduku.

Ada saat-saat di mana aku ingin melarikan diri dari sini, namun sekuat apapun selama ini aku berusaha untuk mengingkari, sesuatu dalam diriku terikat kuat padanya.

Aku tidak akan pernah siap dengan apa yang aku hadapi, tapi aku sudah menentukan pilihan. “Aku akan menerimanya,” bisikku lirih. “Seberapapun rumit hubungan itu nanti.”

Aziz diam, namun aku bisa merasakan helaan nafasnya yang berat. Kemudian tanpa disangka-sangka, tangannya terulur ragu, menyentuh puncak kepalaku lalu mengusapnya perlahan.

Saat aku mengangkat wajah untuk menatapnya aku melihat pengertian ada dalam tatapannya yang seakan tanpa emosi.

“Aku ada dipihakmu,” Aziz mengatakannya mantap. “Jadi ingatlah, apapun yang terjadi nanti … jangan berpikir seolah-olah kamu hanya sebatangkara di sini. Jangan lupakan itu!”

“T-terimakasih.” Aku terisak saat mengatakannya. Mungkin agak sedikit terkejut tapi janji Aziz memberi keyakinan kalau aku dijaga dan dilindungi. Apa yang tidak aku rasakan lagi setelah kematian ayah.

Tbc

Putri Sang PunyimbangWhere stories live. Discover now